Para
dokter tersebut bahkan rela meninggalkan buku resep obat dan tempat
praktek mereka serta menggantinya dengan papan protes. Mereka juga turun
ke jalan sebagai wujud dari aksi protes mereka terhadap kenaikan premi
asuransi tersebut. (USA TODAY,18 Januari 2004).
Tentu tidak akan pernah terbayangkan oleh masyarakat bahkan oleh para dokter di Indonesia untuk mengikuti jejak rekan sejawat mereka di Amerika Serikat, yang sampai harus turun ke jalan akibat keharusan membayar premi asuransi profesi dokter.
Namun
akhir-akhir ini, karena maraknya kasus dugaan malpraktek medik atau
kelalaian medik di Indonesia, ditambah keberanian pasien yang menjadi
korban untuk menuntut hak-haknya, para dokter seakan baru mulai 'sibuk' berbenah diri. Terutama dalam menghadapi kasus malpraktek. 'Kesibukan' ini terjadi sejalan
dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi
masyarakat, dan meningkatnya kesadaran hukum di masyarakat menuntut
keadilan.
Mengamati pemberitan di media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpaktek medik dan kelalaian medik di Indonesia,
terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang
berdampak buruk terhadap pasiennya. Salah satu dugaan malpraktek yang
menonjol adalah kasus yang menimpa Augustianne Sinta Dame Marbun, istri
pengacara kondang Hotman Paris Hutapea. Ia mengalami kerusakan ginjal
yang diduga diakibatkan pemakaian antibiotik dosis tinggi (Suara Pembaruan, 9 Desember 2003).
Anne,
begitu Augustianne biasa disapa, divonis oleh seorang dokter spesialis
kandungan harus menjalani pengangkatan rahim. Sebelum dilakukan operasi,
ia harus meminum antibiotik dosis tinggi tiga kali sehari selama tujuh
hari. Setelah meminum antibiotik tersebut, kondisi Anne justru makin
buruk. Karena cemas dengan kondisi istrinya, Hotman Paris membawanya ke
rumah sakit untuk memperoleh second opinion. Disitu baru
terungkap bahwa antibiotik yang diminumnya ternyata membawa kerusakan
pada ginjalnya. Dosis yang diberikan kepada Anne dinilai terlalu tinggi.
Akhirnya ia dibawa ke Singapura untuk menjalani pengobatan. Nyatanya,
setelah menjalani pemeriksaan di salah satu rumah sakit terkemuka di sana, Anne tak perlu menjalani operasi pengangkatan rahim. Cukup dengan pengobatan sinar laser selama 10 menit.
Kasus
di atas tentunya sangat mengejutkan masyarakat awam. Keterkejutan
tersebut semakin bertambah--apabila memang benar telah terjadi kesalahan
diagnosis--mengingat reputasi dokter ahli kandungan yang menangani
kasus tersebut sangat baik dan terpandang di Indonesia. Ironisnya lagi, kasus seperti ini bukan hanya sekali dua kali terjadi, tapi sudah sangat sering terjadi di Indonesia,
bahkan telah banyak memakan korban jiwa. Banyak masyarakat yang berobat
bukan menjadi sembuh, tapi malah menjadi cacat seumur hidup, bahkan
meninggal dunia. Hal tersebut terjadi semata-mata adalah akibat
kesalahan diagnosis dokter dalam penanganan terhadap pasiennya.
Anne adalah salah satu dari sekian banyak pasien di Indonesia
yang mengalami pengalaman buruk akibat kesalahan diagnosis dokter.
Kebetulan Anne sang pasien tersebut adalah istri pengacara ternama,
sehingga kasus ini demikian gamblang terangkat ke media konsumsi
masyarakat. Namun, bagaimana kalau hal ini terjadi pada pasien yang
berasal dari golongan masyarakat miskin?
Tergolong
malpraktek medik atau kelalaian medik-kah dokter yang melakukan
kesalahan diagnosis tersebut? Menurut Dr. Marius Widjajarta, Ketua
Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), bila ada
standarnya, salah diagnosis bisa diduga malpraktek. Sebab, dari salah
diagnosis bisa berakibat salah terapi. Salah terapi bisa berakibat
fatal. Banyak pasien meninggal di tangan dokter, dan ironisnya di Indonesia
belum ada hukum yang mengatur standar profesi kedokteran dalam
melakukan kesalahan profesi. Sehingga, sulit membedakan antara
malpraktek dengan kelalaian, kecelakaan dan kegagalan. Apalagi pemahaman
malpraktek pun masih belum seragam. Sehingga kerap pasien menuding
terjadi malpraktek, sedangkan dokter membantahnya (Gatra, 13 Maret 2004).
Sementara itu Prof. dr.Farid Anfasa Moeloek, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berpendapat, batasan
tegas tenaga medis melakukan malpraktek adalah jika tindakan tenaga
medis tersebut sudah melanggar standar prosedur. Masalahnya, setiap
rumah sakit memiliki Standar Operating Procedure
(SOP) yang berbeda-beda, tergantung pada fasilitas yang dimiliki rumah
sakit. Sehingga mengenai tuntutan malpraktek harus dilihat kasus per
kasus. Tidak bisa digeneralisasi hal seperti apa yang menjadi
malpraktek, dan mana yang bukan. (Kompas, 23 Januari 2003).
Kenyataan
diatas sudah barang tentu membuat masyarakat 'ngeri' dengan dokter.
Kengerian masyarakat tersebut bahkan bisa mengarah menjadi suatu
ketidakpercayaan masyarakat terhadap dokter di Indonesia.
Kengerian ini makin bertambah dengan kenyataan sulitnya menyeret dokter
ke meja hijau karena tidak adanya suatu keseragaman tentang pemahaman
malpraktek, karena ketiadaan hukum yang mengatur standar profesi
kedokteran. Akhirnya, kalangan berduit memilih untuk berobat ke luar
negeri seperti Singapura, Malaysia atau Australia, bahkan sampai ke negeri Cina.
Berdasarkan
data LBH Jakarta, setiap tahun sedikitnya sepuluh orang melakukan
pengaduan kepada LBH karena tindakan dokter atau petugas kesehatan yang
merugikan. Tindakan tersebut mengakibatkan kecacatan atau kematian
pasien (www.kompas.com, 28 Januari 2003). Sepengetahuan penulis, sebagian besar dari kasus yang dilaporkan tersebut telah diselesaikan secara damai.
Sementara
di Amerika Serikat untuk tahun 2000 saja, terdapat 86.640 kasus
tuntutan malpraktek dan sebagian besar juga diselesaikan melalui mediasi
(www.medicalmalpractice.com). Hal ini membuat
masyarakat semakin mencap dokter sebagai profesi yang kebal hukum.
Kenyataan ini tentunya tidak hanya merugikan masyarakat, namun dapat
merugikan profesi dokter sendiri.
Sungguh malang
nasib para dokter yang menjalankan profesinya yang mulia. Di satu sisi
profesi ini bukan pelaku usaha karena tujuannya bukanlah untuk mencari
keuntungan semata. Profesi ini hanya memperoleh penghargaan atas
upayanya dalam menyembuhkan pasien. Namun disisi lain ada resiko besar
yang dihadapinya apabila dalam usahanya untuk menyembuhkan pasien. Entah
karena takdir atau karena kelalaiannya (human error).
Apalagi, bila tindakannya tersebut dinilai tergolong malpraktek medik,
sehingga dia harus menghadapi tuntutan, baik perdata atau pidana.
Tentunya
hal ini menimbulkan ketakutan tersendiri bagi para dokter dalam
menjalankan profesinya, mengingat mereka adalah manusia biasa yang bisa
berbuat salah. Dokter hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk
menyembuhkan pasien, tapi tidak bisa menjanjikan kesembuhannya. Apabila
dokter dituntut baik secara perdata maupun pidana, maka untuk
menyelesaikannya perlu diadakan pemeriksaan perkara lebih lanjut di
pengadilan. Dampaknya tentu saja dapat merusak citra dan nama baik
dokter sebagai profesi yang luhur dan mulia, yang tidak semata-mata
hanya mencari keuntungan, terutama bersifat kemanusiaan dan sosial.
Berangkat
dari kasus tersebut diatas, maka muncul pertanyaan apakah kesalahan
diagnosis dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktek medik atau
kelalaian medik? Apakah mungkin dibentuk suatu hukum yang mengatur
mengenai standar profesi kedokteran dalam rangka memberikan perlindungan
hukum baik bagi masyarakat maupun profesi kedokteran sendiri? Untuk
mempersempit ruang lingkup, penulis hanya membatasi tulisan ini dalam
konteks hubungan dokter dan pasien, tidak mencakup ruang lingkup rumah
sakit, laboratorium, dan tenaga medis selain dokter.
Meski
berita yang membahas mengenai malpraktek medik atau kelalaian medik
begitu marak, namun, jarang yang memaparkan pengertian mengenai hal
tersebut. Oleh sebab itu, untuk memberikan pengertian yang lebih baik,
penulis terlebih dahulu memaparkan beberapa pengertian malpraktek medik
atau kelalaian medik.
Prof.dr.
M. Jusuf Hanafiah, SpOG(K) memberikan pengertian tentang malpraktek
medik yaitu kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam
mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan
yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini ialah sikap kurang
hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang
seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi
tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran
di bawah standar pelayanan medik.
Lebih
jauh lagi, Hanafiah berpendapat bahwa kelalaian bukanlah suatu
pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai
membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat
menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum De minimis noncurat lex
yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.
Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan
bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai
kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal.
Adapun
dokter dapat dikatakan melakukan malpraktek apabila dokter kurang
menguasai ilmu kedokteran yang berlaku umum, memberikan pelayanan
dibawah standar, melakukan kelalaian berat, atau melakukan tindakan
medik yang bertentangan dengan hukum.:
Jika
dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik
kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat
menuntut penggantian kerugian karena kelalaian, maka penggugat harus
dapat membuktikan adanya empat unsur berikut: adanya kewajiban dokter
terhadap pasien, dokter melanggar standar pelayanan medik yang lazim
dipakai, penggugat menderita kerugian, dan kerugian tersebut disebabkan
tindakan di bawah standar.
Sedangkan
menurut Drs. Fred Ameln, S.H., seorang dokter melakukan malpraktek
apabila ia melakukan suatu tindakan medik yang salah (wrong-doing) atau ia tidak atau tidak cukup mengurus pengobatan/perawatan pasien (neglect the patient by giving not or not enough care to the patient).
Kemudian J. Guwandi, S.H. mengatakan bahwa malpraktek
adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, bersifat stigmatis.
Sebenarnya istilah malpraktek tidak hanya terjadi pada profesi
kedokteran saja. Namun entah mengapa, ternyata dimana-mana, bahkan di
luar negeri, istilah malpraktek selalu pertama-tama dikaitkan kepada
profesi medis.
Ada beberapa penulis yang mengatakan bahwa sukar untuk mengadakan pembedaan antara negligence dan malpractice. Menurut pendapat mereka, lebih baik malpractice dianggap sinonim saja dengan professional negligence (Creighton, 167). Memang di dalam literatur, penggunaan kedua istilah itu sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama. Malpractice is a term which is increasingly widely used as a synonym for medical negligence (Mason-McCall Smith, 339).
Berbeda
dengan pengertian-pengertian yang telah dipaparkan sebelumnya, J.
Guwandi, S.H. tidak sependapat dengan pendapat yang mengatakan
malpraktek lebih baik dianggap sinonim dengan kelalaian. Menurutnya,
malpraktek tidaklah sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk
dalam arti malpraktek, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu terdapat
unsur kelalaian.
Malpraktek
mempunyai pengertian yang lebih luas daripada kelalaian. Karena selain
mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup
tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, onzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya suatu motif (mens rea, guilty mind). Sedangkan arti kelalaian lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa),
kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tak peduli
terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang
bukanlah menjadi tujuannya.
Dari
beberapa pengertian dan pendapat dari para ahli hukum kedokteran di
atas, terlihat adanya perbedaan dalam melihat pengertian dari malpraktek
dan kelalaian dalam profesi kedokteran. Namun terlepas apakah
malpraktek medik dan kelalaian medik merupakan suatu pengertian yang
sama atau berbeda, penulis berpendapat bahwa pada intinya
pengertian-pengertian tersebut di atas adalah sama. Yaitu kesalahan
dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasiennya, sengaja atau
tidak sengaja tindakan medik tersebut dilakukan oleh sang dokter
tersebut.
Namun ada baiknya pengertian malpraktek medik dan kelalaian medik di Indonesia
diseragamkan dan diatur secara jelas serta tertuang dalam suatu
peraturan perundang-undangan atau aturan tertulis. Terlepas apakah
nantinya akan dibedakan antara pengertian malpraktek medik dan kelalaian
medik, atau menjadi satu pengertian tanpa pembedaan.
Pengaturan
ini sangatlah penting guna terciptanya suatu kepastian hukum bagi
masyarakat dan dokter serta untuk menjamin rasa keadilan. Para
dokter tidak dapat menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya,
sedangkan pasien tidak dapat sembarangan menggugat dokter yang
menanganinya. Terlebih apabila terlihat jelas bahwa tindakan medik yang
dilakukan oleh dokter yang bersangkutan telah memenuhi UU No. 23 tahun
1992 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI) dan Standar Profesi Kedokteran yang berlaku.
Mengenai
kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter termasuk
malpraktek medik/kelalaian medik atau bukan, penulis berpendapat bahwa
sepanjang seorang dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap
pasiennya memenuhi UU Kesehatan, KODEKI (lihat Pasal 1,2,6,10 dan 11)
dan Standar Profesi Kedokteran, maka sekalipun dokter tersebut melakukan
kesalahan diagnosis, tindakan dokter tersebut tidak dapat dikategorikan
sebagai tindakan malpraktek medik/kelalaian medik.
Setiap kasus kesalahan diagnosis dokter yang mencelakakan pasiennya yang selama ini terjadi di Indonesia
selalu dibawa ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) di bawah
naungan IDI, baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang.
Memang
KODEKI hanya mencantumkan tindakan apa yang harus dilakukan atau tidak
seharusnya dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
Namun penerapan sanksi apabila terjadi pelanggaran atas KODEKI tidak
diatur secara jelas. Hanya sanksi etika dan moral yang melekat dalam
setiap pelanggaran KODEKI.
Jadi
MKEK hanya memutuskan persoalan etika profesi kedokteran, mengingat
kapasitasnya yang bukan merupakan lembaga pengadilan medik yang
berwenang secara hukum untuk memutuskan apakah suatu kesalahan diagnosis
adalah tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik. Paling banter
MKEK hanya bisa memberikan pernyataan apakah seorang dokter yang
melakukan kesalahan diagnosis telah melakukan tindakan medik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU Kesehatan,
KODEKI dan Standar Profesi Kedokteran yang ada atau tidak.
Mengenai perumusan Standar Profesi Kedokteran (medische profesionele standaard)
menurut Leenen (seperti yang telah diterjemahkan oleh Drs. Fred Ameln,
S.H.), adalah berbuat secara teliti dan seksama menurut ukuran medik,
sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata (average) dibanding dengan dokter dari ketagori keahlian medik yang sama, dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional dengan tujuan kongkrit tindakan/perbuatan medik tersebut).
Menurut
Drs. Fred Ameln, S.H., perumusan standar di atas harus dipakai untuk
menguji apakah suatu perbuatan medik merupakan malpraktek atau tidak.
Ternyata, Drs. Fred Ameln, S.H. berpendapat, unsur perumusan Standar
Profesi Kedokteran menurut Leenen adalah yang paling lengkap dan
memiliki banyak unsur yang sangat relevan.
Untuk
menilai apakah kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter
termasuk kategori malpraktek medik atau kelalaian medik, dapat ditelaah
melalui standar di atas sebagai berikut: Pertama,
dokter harus bekerja secara teliti dan seksama. Apabila memang
kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter adalah akibat
ketidaktelitiannya, misalnya salah dalam membaca hasil pemeriksaan
laboratorium pasiennya, maka dokter yang bersangkutan telah memenuhi
unsur kelalaian.
Kedua,
dokter dalam mengambil tindakan harus sesuai dengan ukuran ilmu medik.
Apabila dokter tersebut telah melakukan tindakan medik sesuai dengan
ukuran ilmu medik dan terjadi kesalahan diagnosis, maka kesalahan dokter
tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai malpraktek medik atau
kelalaian medik.
Ketiga, kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama. Keempat, dalam situasi kondisi yang sama. Kelima,
sarana upaya yang sebanding dengan tujuan kongkrit tindakan medik
tersebut. Bahwa menurut Drs. Fred Ameln, S.H., tindakan medik tidak saja
harus sesuai dengan standar medik saja, akan tetapi harus pula
ditujukan pada suatu tujuan medik. Tindakan diagnosis maupun tindakan
terapeutik harus secara nyata ditujukan pada perbaikan situasi pasien.
Apabila jelas terlihat bahwa seorang dokter telah melakukan upaya medik
yang sangat maksimal demi kesembuhan pasien, namun ternyata dokter
tersebut melakukan kesalahan diagnosis, maka tindakan medik dokter
tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai malpraktek medik atau
kelalaian medik.
Seperti
yang telah disebutkan di atas bahwa kondisi setiap pasien adalah
berbeda-beda, walaupun penyakit yang dideritanya sama. Sekali lagi
dokter bukanlah Tuhan, namun hanyalah manusia biasa yang mencoba untuk
memberikan pertolongan berdasarkan ilmu yang dikuasainya, UU Kesehatan,
KODEKI serta Standar Profesi Kedokteran yang ada.
Selain
itu, menurut Drs. Fred Ameln, S.H. bahwa harus disadari bahwa sulit
sekali memberikan kriteria atau standar yang pasti untuk dipakai dalam
setiap tindakan medik karena perbedaan situasi kondisi fisik pasien.
Kondisi fisik para pasien yang berbeda-beda yang dapat menghasilkan
reaksi, terutama terhadap obat, yang berbeda walaupun diberikan terapi
yang sama sesuai dengan standar umum yang berlaku. Maka dari itu penulis
tetap berpendapat bahwa sekalipun dokter tersebut melakukan kesalahan
diagnosis namun dia sudah memenuhi UU Kesehatan, KODEKI dan Standar
Profesi Kedokteran yang ada dan berlaku, maka tindakan medik dokter
tersebut bukanlah suatu tindakan malpraktek medik atau kelalaian medik.
Apabila ternyata kesalahan diagnosis dokter tersebut tergolong malpraktek medik/tindakan medik atau bukan, dan tidak
terbukti secara jelas dan gamblang, sementara pasien ternyata menuntut
ganti rugi dengan menggugat sang dokter baik secara perdata maupun
pidana, maka hal ini harus dibuktikan lebih lanjut melalui lembaga
peradilan yang ada di Indonesia, dengan tetap menganut asas praduga tak
bersalah (presumption of innocent).
Untuk
memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum baik bagi masyarakat dan
para dokter, seperti yang telah dipaparkan diatas, penulis mengusulkan
perlunya penyeragaman dan penegasan mengenai pengertian malpraktek medik
ataukelalaian medik, yang tertuang dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Dan juga adanya penyeragaman SOP untuk fasilitas kesehatan yang ada dan berlaku umum di seluruh Indonesia.
Selain itu, penerapan audit dokter atau medical audit
sangatlah penting untuk menjaga kualitas para dokter, terutama bagi
para dokter spesialis. Misalnya para dokter diwajibkan untuk mengikuti
pendidikan dokter berkelanjutan (Continuing Medical Education/CME) agar ilmunya tidak mengalami stagnasi dan selalu mengikuti perkembangan ilmu kedokteran terbaru (medical is long life study). Medical audit
akan bagus apabila badan pengawas yang masih ada yaitu Dinas Kesehatan
dan IDI dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien. Pengaturan
mengenai Medical Audit memang sebaiknya dimasukkan dalam bagian RUU Praktek Kedokteran sebagai kewajiban dokter yang mempunyai akibat hukum.
Hal
ini bertujuan untuk mencegah atau meminimalisasi kesalahan diagnosis
dokter yang tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik. Sehingga
masyarakat Indonesia mendapatkan rasa aman, perlindungan hukum serta pelayanan kesehatan yang terbaik dari para dokter di Indonesia. Bisa dibayangkan apabila dokter di Indonesia
diwajibkan untuk membayar asuransi profesi yang preminya sangat tinggi
seperti yang terjadi di Amerika Serikat karena tingginya gugatan
malpraktek medik/kelalaian medik. Jangan-jangan masyarakat lagi yang
akan menanggung tingginya biaya jasa dokter, karena tingginya premi
asuransi profesi dokter tentunya akan mengakibatkan tingginya biaya
pengobatan.