Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 29 Mei 2015

Penyuluhan Medikolegal

 Alhamdulillah acara sosialisasi yang semula berawal dari bincang-bincang semata antara Kepala Cabang Asuransi Bumiputera Muda 1967 Cabang Padang Bapak Dani Eka Putra, SP. AAAIK dengan direktur Rumah Sakit Umum Citra Bunda Medical Center (RSU C-BMC) dr. Helgawati, M.Kes yang bermula dari adanya ujian tertutup S3 dokter medikolegal Bumida dr. Rika Susanti, Sp.F.
Seminggu sebelum acara penyuluhan diselenggarakan kami dari asuransi Bumida tengah sibuk mempersiapkan berbagai persiapan. Surat Undangan yang akan disebar ke berbagai rumah sakit lain seperti RSI Siti Rahmah Padang, RSI Ibnu Sina Yarsi Sumbar Padang, RS Gigi dan Mulut FKG Baiturrahmah Padang, Ketua IDI Wilayah Sumbar, Ketua IDI Cabang Padang, RS Yos Sudarso Padang, Semen Padang Hospital sudah ditandatangani oleh dr. Helgawati. M.Kes selaku tuan rumah acara. Sejawat dari berbagai instansi rumah sakit juga sudah mengkonfirmasi kehadiran dari perwakilan rumah sakit mereka masing-masing. Antusiasme para dokter umum, dokter gigi, dan dokter spesialis sangat dirasakan, padahal acara belum diselenggarakan.
Tepatnya Rabu tanggal 27 Mei 2015, pembicara utama Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, Sp.F, SH, DFM, M.Si dijemput ke bandara, beliau juga singgah dahulu ke kantor cabang Bumida Jl. S. Parman No. 80 B untuk sekedar bersilaturrahmi dengan para karyawan.
Acara diagendakan pada pukul 14.00 wib dengan rincian sebagai berikut :


Materi I  : Pencegahan Fraud pada Praktek Kedokteran
Materi II : Pencegahan dan Cara Menghadapi Tuntutan Pasien dalam Praktek Kedokteran serta Aspek Medikolegalnya

 

Pembicara I : Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, Sp.F, SH, DFM, M.Si http://staff.ui.ac.id/agus.purwadianto
(Guru besar dan dosen FKUI)
 

Pembicara II : Dr. dr. Dedy Afandi, DFM, Sp.F (Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Riau)
 





Pukul : 14.00 s/d selesai

Tempat : Ruang Komite Medik Lantai IV RSU Citra BMC Padang


Sebanyak kurang lebih 40 orang dokter dari berbagai spesialisai datang untuk menghadiri penyuluhan yang dikemas apik oleh kedua pembicara. Setelah acara penyuluhan dilaksanakan, Kepala Cabang Bumida Bapak Dani dan dr. Helgawati, M. Kes melanjutkan obrolan di kantor direktur, dan dari hasil pembicaraan tersebut Insya Allah dr. Helgawati, M.Kes menginginkan dalam waktu dekat ini RSU Citra BMC akan mengadakan kerjasama dengan Asuransi Bumida dalam hal untuk mengasuransikan seluruh dokter yang berpraktek dalam lingkup RSU Citra BMC dengan Asuransi Tanggung Gugat Profesi Dokter dimana preminya akan sangat terjangkau oleh dokter-dokter tersebut sesuai dengan spesialisasi masing-masing. Rrincian premi berdasarkan klasifikasi spesialisasi dokter dapat dilihat di website Bumida : http://www.bumida.co.id/index.php/main_ind/product_detail/30/1/2010/04/08/Asuransi-Tanggung-Gugat-Profesi-Dokter

Sekian informasi pelaksanaan acara penyuluhan dari kami PT. Asuransi Bumiputera Muda 1967 Padang. Jika Anda berkenan untuk bergabung dan bekerjasama dengan kami, kami akan dengan sangat senang untuk membantu Anda. Wassalam




PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967
Kantor Cabang Padang
Jl. S. Parman No. 80B
Telp : 0751-444562
Fax : 0751-444561


Ucy Darma,
Account Officer Liability Dokter
Cp : 085274473364





Senin, 30 Maret 2015

Ratusan Polisi Punggungi Wali Kota New York Saat Pidato


Sejumlah polisi memunggungi Wali Kota New York Bill de Blasio yang sedang berpidato saat pemakaman petugas NYPD Wenjian Liu di Brooklyn, New York, Amerika Serikat, Minggu (4/1/2015). Foto : REUTERS/Shannon Stapleton
Senin, 5 Januari 2015 | 12:10 WIB
DUNIA
 
 
VIVAnews - Ratusan polisi membalikkan badan saat Wali Kota New York Bill de Blasio sedang berpidato di tengah pemakaman petugas NYPD Wenjian Liu di Brooklyn, New York, Amerika Serikat, Minggu (4/1/2015). Aksi itu memperlihatkan ketegangan yang berlanjut antara kepolisian dan de Blasio yang dinilai menjadi penyebab meningkatnya sentimen anti-polisi. Wenjian Liu tewas dalam penyergapan sekelompok orang. Pelaku mengklaim pembunuhan itu sebagai balas dendam atas penembakan dua pemuda kulit hitam oleh polisi di Ferguson dan New York.

Valntino Rossi Juarai Seri Pembuka MotoGP 2015


Pembalap Valentino Rossi melakukan selebrasi dengan timnya usai menjuarai balapan MotoGP Qatar di sirkuit Losail, Doha, Minggu (29/03/2015). Foto : REUTERS/Fadi Al-Assaad
Senin, 30 Maret 2015 | 09:02 WIB
BALAP
 
 
VIVA.co.id - Pembalap Movistar Yamaha, Valentino Rossi menjuarai seri pembuka MotoGP 2015 di Sirkuit Internasional Losail, Doha, Minggu (29/03/2015). Rossi mampu mempecundangi jagoan Ducati, Andrea Dovizioso dengan mencatatkan waktu 42 menit 35,717 detik unggul atas Dovizioso dengan selisih 0,174 detik.

Pecundangi Duo Ducati, Valentino Rossi Juarai GP Qatar

Pengalaman Rossi mengalahkan kecepatan motor Ducati milik Dovi.
Senin, 30 Maret 2015 | 02:05 WIB
Oleh : Muhammad Wirawan Kusuma
Pecundangi Duo Ducati, Valentino Rossi Juarai GP Qatar
Pembalap Movistar Yamaha, Valentino Rossi (Crash.net)
VIVA.co.id - Pembalap Movistar Yamaha, Valentino Rossi, menjuarai seri pembuka MotoGP 2015. Rossi mampu mempecundangi jagoan Ducati, Andrea Dovizioso di Sirkuit Losail, Qatar, Minggu 29 Maret 2015 (Senin dini hari WIB). Rossi mencatatkan waktu 42 menit 35,717 detik. Dia unggul atas Dovizioso dengan selisih 0,174 detik.
Sementara tempat ketiga diisi oleh pembalap Ducati lainnya, Andrea Iannone. Posisi keempat ditempati oleh rekan setim Rossi, Jorge Lorenzo.
Pertarungan sengit terjadi antara pembalap Ducati dan Yamaha sejak awal balapan. Lorenzo dan Rossi begitu digdaya saat berada di tikungan. Namun, saat trek lurus, Dovizioso dan Iannonne menunjukkan kecepatan "kuda besi" mereka.

Memasuki beberapa lap terakhir, Lorenzo bersama Dovizioso dan Iannone silih berganti menempati posisi pertama. Sementara Rossi hanya bisa menanti kesempatan.

Di 4 lap terakhir, Rossi mampu melesat ke posisi kedua. Pembalap Italia ini bersaing ketat dengan Dovizioso yang memimpin balapan.

Aksi saling salip diperlihatkan dua pembalap Italia ini di 2 lap terakhir. Namun, pengalaman Rossi akhirnya mengalahkan kecepatan motor Ducati milik Dovizioso.

Sementara itu, hasil tak memuaskan diraih duo pembalap Repsol Honda, Marc Marquez dan Dani Pedrosa. Marquez yang merupakan juara bertahan harus puas di posisi kelima dengan selisih 4,3 detik dari Rossi. Sedangkan Pedrosa satu peringkat di bawahnya.
Berikut hasil balapan GP Qatar, Minggu 29 Maret 2015:
1    Valentino Rossi    Yamaha    42m35.717s
2    Andrea Dovizioso    Ducati    0.174s
3    Andrea Iannone    Ducati    2.250s
4    Jorge Lorenzo   Yamaha    2.707s
5    Marc Marquez    Honda    7.036s
6    Daniel Pedrosa    Honda    10.755s
7    Cal Crutchlow    LCR    12.384s
8    Bradley Smith    Tech 3    12.914s
9    Pol Espargaro    Tech 3    13.031s
10    Yonny Hernandez    Pramac Racing    17.435s
11    Aleix Espargaro    Suzuki   19.901s
12    Danilo Petrucci    Pramac Racing    24.432s
13    Scott Redding    Marc VDS   32.032s
14    Maverick Vinales    Suzuki    33.463s
15    Hector Barbera    Avintia Racing    33.625s
16    Stefan Bradl    Forward Racing  33.944s
17    Nicky Hayden    Aspar     38.970s
18    Eugene Laverty    Aspar   46.570s
19    Mike Di Meglio    Avintia Racing    59.211s
20    Alex de Angelis    IodaRacing Project    1m14.981s
21    Marco Melandri    Aprilia Gresini     1m48.143s
22    Loris Baz    Forward Racing     3 Laps
-    Karel Abraham    AB Motoracing     Tidak finish
-    Jack Miller    LCR      Tidak finis
-    Alvaro Bautista    Aprilia Gresini    Tidak finish

Bersiap-siaplah Menyaksikan Gerhana Bulan Total

4 April diprediksi terjadi gerhana bulan total
Senin, 30 Maret 2015 | 05:17 WIB
Oleh : Sari Putri Utamijogrel
Bersiap-siaplah Menyaksikan Gerhana Bulan Total
Siap-siap untuk gerhana di hari sabtu nanti, 4 April 2015. (U-Report)
Tiada habisnya jika kita membahas tentang alam semesta ini. Namun perlu kita ketahui, menurut hasil dari keputusan sidang dewan hisab dan rukyat Persatuan Islam, pada hari Sabtu, 4 April 2015 akan terjadi Gerhana Bulan Total. Gerhana Bulan total kali ini akan mulai terjadi pada pukul 17:15'.45'' WIB.
Fenomena gerhana adalah kejadian yang sangat unik bagi kita. Karena pada saat itu matahari, bulan dan bumi berada pada satu garis lurus dan tak terjadi tabrakan sama sekali. Maka, sudah sepantasnyalah bagi kita untuk mensyukuri hal ini. Bagi Para pemeluk Agama Islam, Shalat Gerhana dianjurkan sebagai tanda taat kita kepada-Nya.
Bumi, bulan, matahari, dan planet-planet lainnya merupakan salah satu keajaiban dari alam semesta yang luas ini. Semuanya berputar dalam lintasannya masing-masing tanpa mengganggu satu sama lainnya. Seandainya saja terjadi pergeseran kecil yang dapat mempengaruhi semua planet ini pasti akan hancur seluruh kehidupan di alam ini.

Tiada habisnya jika kita membahas tentang alam semesta ini. Namun perlu kita ketahui, menurut hasil dari keputusan sidang dewan hisab dan rukyat Persatuan Islam,   nanti pada hari sabtu, tanggal 4 April 2015 M akan terjadi Gerhana Bulan Total.

Gerhana Bulan total kali ini akan mulai terjadi pada pukul 17:15'.45'' WIB. Kemudian awal Gerhana Total terjadi sekitar pukul 18:57'54'' WIB. Dan gerhana akan berakhir pada pukul 20:44,45" WIB.


Gerhana Bulan Total ini bisa disaksikan di seluruh wilayah Indonesia, walaupun berbeda-beda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Gerhana secara utuh hanya bisa disaksikan dari fase penumbra awal hingga fase penumbra akhir di provinsi Papua saja. Sementara di provinsi-provinsi lainnya tidak, karena Bulan belum terbit ketika gerhana dimulai.

Fenomena gerhana adalah kejadian yang sangat unik bagi kita. Karena pada saat itu matahari, bulan dan bumi  berada pada satu garis lurus.   Dan tak terjadi tabrakan sama sekali, sudah sepantasnyalah bagi kita untuk mensyukuri hal ini. Bagi Para pemeluk Agama Islam, Shalat Gerhana dianjurkan sebagai tanda taat kita kepada-Nya. Dan bagi masyarakat dunia khususnya Indonesia, bersiap-siaplah untuk menyaksikan fenomena Gerhana Bulan Total pada hari sabtu, 4 april 2015 nanti.    

Dokter Penghantar Maut

Malpraktik menghantui pasien di rumah sakit. Bukan cuma salah prosedur.
Jum'at, 27 Februari 2009
Oleh : Nurlis E. Meuko, Sandy Adam Mahaputra, Lutfi Dwi Puji Astuti, Zaky Al-Yamani
Dorkas Hotmian Silitonga
VIVAnews - LUBANG sebesar bola tenis berada tepat di atas pusar Sisi Chalik. Tampak tersembul gumpalan usus. Berwarna merah, dan memekar saat dia “buang air besar”. Kotoran itu keluar bukan dari jalan lazim. Tapi dari liang di atas pusar. Setiap hari, lebih dari sekali, dia harus mengganti perban penutup ususnya.
Kerepotan itu sudah dijalaninya sembilan tahun. "Mana ada orang menerima keadaan tak normal begini," kata perempuan 47 tahun ini kepada VIVAnews di Jakarta, Jumat 27 Februari 2009. Sisi normal sejak lahir. Sampai petaka itu menimpanya 16 Mei 2000.

Waktu itu, dokter di Rumah Sakit Budhi Jaya, Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, menemukan myoma (tumor) dalam rahimnya. Dia lalu digiring ke meja operasi. Aksi bedah itu memang selesai. Tapi lima hari berselang, perutnya malah bengkak. Nafasnya sesak.

Dia lalu kembali ke meja operasi di rumah sakit sama. "Ternyata ditemukan kebocoran usus," ujar Sisi. Dia marah. Ditepisnya tawaran operasi gratis dari rumah sakit itu. Sejak itulah perutnya terus berlubang. Ususnya tampak menyembul.

Perut bocor itu rupanya membuat hidupnya makin pelik. Dia dicerai suaminya, dan dijauhi kerabat. Dia bahkan tak diterima oleh keluarga besarnya lagi. "Karena itu, saya menggugat dokter," katanya. Hidupnya jadi nestapa. Tapi Sisi tetap tabah.

Dia lalu memulai perjuangannya menghadapi dunia medis. Langkah pertama, dia membawa kasus ini ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Tapi Majelis rupanya punya penilaian berbeda. Dokter dan rumah sakit, kata putusan Majelis itu, tak melakukan kesalahan. Tuntutan Sisi pun kandas.

Sisi kemudian mencoba cara lain. Dia menempuh peradilan konvensional. Mulanya, dia menggugat perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sisi minta ganti rugi Rp 3 miliar. "Saya butuh untuk operasi di RS Mount Elisabeth Singapore," katanya.

Di meja hijau, kasus itu sempat menggantung sembilan tahun. Kuasa hukum RS Budhi Jaya, Iswahjudi Karim, mengatakan kliennya tak salah. "Justru dia tak mau menjalani operasi akhir untuk penyambungan usus," kata Iswahjudi. "Ingin disembuhkan tidak mau."
Pengadilan akan memutuskan kasus itu pada Senin 3 Maret 2009 ini.

***
Soal dokter digugat pasien, mungkin bukan perkara baru. Catatan malpraktik sudah dibukukan sejak 1923, salah satu yang terkenal adalah Kasus Djainun. Si pasien itu mati karena kelebihan dosis obat.

Malpraktik sangat trekenal adalah kasus di Wedariyaksa, Pati, Jawa Tengah, pada 1981. Seorang wanita, Rukimini Kartono, meninggal setelah ditangani Setianingrum, seorang dokter puskesmas. Pengadilan Negeri memvonis si dokter bersalah. Dia dihukum tiga bulan penjara. Dia selamat dari hukuman, setelah kasasi ke Mahkamah Agung.

Kebanyakan pasien memang kalah di meja hijau. Hukum kedokteran pun sempat menjadi topik di kalangan medis. Sayangnya, pembahasannya timbul tenggelam seirama munculnya kasus malpraktik. Soal itu baru mendapat sorotan media jika yang terkena, misalnya, adalah tokoh publik.

Ambil contoh kasus Augustianne Sinta Dame Marbun, pada 2003. Dia istri Hotman Paris Hutapea, advokat papan atas di Jakarta. Hotman berteriak ketika tahu sebuah rumah sakit ternama di Ibukota salah mendiagnosa isterinya. Dia sampai membawa isterinya berobat ke Singapura. Meski Hotman adalah pengacara, kasus ini tak sampai bergulir ke meja hijau.

Tiga tahun kemudian, mencuat kasus Sita Dewati Darmoko. Dia istri bekas Direktur Utama PT Aneka Tambang, Darmoko. Menderita tumor ovarium, Sita dioperasi di satu rumah sakit mewah di Jakarta. Keluar dari kamar bedah, Sita malah tambah parah. Dia akhirnya meninggal.

Rumah sakit itu menjanjikan ganti rugi Rp 1 miliar. Tapi ingkar. Akhirnya keluarga almarhum menggugat perdata. Majelis mengabulkannya. Rumah sakit harus membayar Rp 2 miliar kepada keluarga malang itu. Hakim menyebut dokter tak teliti.

Perkara terbaru adalah petaka menimpa Dorkas Hotmian Silitonga. Hingga Jumat 26 Februari 2009, perempuan 32 tahun ini masih tergolek di sebuah bangsal Rumah Sakit Mangun Ciptokusumo, Jakarta Pusat.

Dorkas menjalani operasi sesar bagi kelahiran anak pertamanya, di Rumah Sakit Bhakti Yudha, Depok, Jawa Barat, tiga bulan lalu. Sejak dibedah itu, dia tak sadar. Dorkas malah koma. Lalu dirawat di RSCM Jakarta Pusat. Untuk membuatnya siuman, dokter sudah kehabisan akal. (Baca juga : Mengapa Dorkas Koma Tiga Bulan).

Dewan Penasihat Ikatan Dokter Indonesia, Prof. Hasbullah Thabrany, mengatakan kelalaian dokter itu sangat kerap. Yang tampak ke permukaan hanyalah pucuk. " Dari seratus kejadian malpraktik, mungkin cuma sepuluh yang dilaporkan," katanya.

Masyarakat, kata Hasbullah, masih beranggapan kejadian yang dialaminya itu adalah takdir. "Masyarakat tidak tahu, malpraktik bisa dilaporkan. Korban bisa mendapat kompensasi atau perbaikan," katanya. Celakanya, catatan medik sering tak lengkap di rumah sakit atau di tempat praktek dokter. Akibatnya, sulit melacak prosedur penanganan yang dilakukan dokter.

Pendapat sama disampaikan Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Dr Marius Widjajarta. Dia menyarankan agar pasien berpedoman pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. "Sebagai konsumen, si pasien berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur," katanya.

Konsumen? Marius mungkin benar. Rumah sakit toh kini sudah menjadi lembaga bisnis. Apalagi, Keputusan Menteri Kesehatan 756/2004, menyatakan jasa layanan kesehatan termasuk bisnis. Bahkan, World Trade Organisation (WTO) memasukkan Rumah Sakit (RS), dokter, bidan maupun perawat sebagai pelaku usaha.
Selama sepuluh tahun,  kata Marius, YPKKI selalu merujuk pada undang-undang konsumen itu. Dalam rentang waktu 1998-2008,  lembaga itu sudah menangani 618 pengaduan di bidang kesehatan. Tahun 2009 (Januari-Februari) sudah masuk 10 kasus.

Dimanakah lalu letak soalnya? Dari jumlah kasus itu, kata Marius, sekitar 60-65 persen persoalan berada pada dokter. “Sisanya terjadi di rumah sakit, apotik, dan obat-obatan," katanya. Sekitar 90 persen kasus tak sampai ke pengadilan. "Selesai dengan mediasi," ujarnya.

Posisi konsumen kesehatan Indonesia juga masih lemah. Alasannya, pengadilan kesulitan dalam pembuktian. "Maaf-maaf saja nih, penegak hukum kita banyak belum mengerti masalah kesehatan," ujar Marius. 

Meski pemerintah sudah memberlakukan Undang-undang Praktik Kedokteran, Marius masih ragu. Undang-undang ini mengatur penyelesaian kasus malpraktik melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Jika si dokter bersalah, hanya ada tiga jenis hukuman; tidak boleh praktek seumur hidup, tidak boleh praktek dalam waktu tertentu, atau disekolahkan kembali.

Saat ini Marius sedang menguji lembaga ini. "Ada kecurigaan, dokter akan melindungi koleganya sesama dokter," katanya. Karena itu dia memasukkan dua kasus dugaan malpraktik yang korbannya adalah dokter juga. Kasus ini sudah berusia setahun belum ada putusannya.

Ceritanya, seorang wanita dokter ahli farmakologi jadi korban malpraktik. Pada Maret 2008, si dokter masuk ke dokter spesialis bedah kosmetik. Dia bermaksud menyedot lemak. "Hasilnya, dia malah meninggal," kata Marius. Kasus inilah yang dimasukkan ke MKDKI, pada Maret 2008 itu.
Satu lagi, korbannya juga dokter. "Dia pengamat ekonomi terkenal," kata Marius. Dasar pendidikan korban itu juga dokter. Tapi dia belajar lagi dan jadi doktor ekonomi. Si dokter yang juga ekonom ini mengalami keropos tulang. Lalu dia masuk ke sebuah rumah sakit terkenal, dan dirawat seorang dokter ternama. "Hasilnya, dia malah lumpuh," kata Marius.

Kasus terjadi pada sembilan bulan lalu ini kemudian digulirkan ke MKDKI. "Kalau mereka membela dokter oke, tapi jika korbannya dokter bagaimana sikap mereka?" kata Marius. Kasus ini juga belum ada putusannya.

Dari Meja Operasi ke Meja Hijau

Dokter dapat terbukti melakukan tindakan yang tak sesuai aturan medis.
Jum'at, 27 Februari 2009
Oleh : Arry Anggadha
Faisal mengalami cacat korban eksperimen dokter
VIVAnews – “Kalau tidak memikirkan anak, akan saya cari mereka sampai kemanapun untuk mengganti nyawa istri saya.”

Ucapan itu terlontar dari mulut Indra Syafri Yacub saat menceritakan istrinya, Adya Vitry Harisusanti, yang telah meninggal enam tahun lalu.

Kisah bermula ketika Santi, nama panggilan istri Indra, mengalami muntah darah pada 20 Oktober 2003. Ia pun langsung membawa istrinya ke RS Azra di Bogor. Dokter  di sana menyatakan Santi harus diperiksa darahnya setiap enam jam sekali karena diduga mengalami luka pada usus. Tiga hari kemudian Santi diperbolehkan pulang.

Kesembuhan itu hanya bertahan sekitar dua minggu. Pada 9 November, Indra kembali harus membawa istrinya ke rumah sakit. Saat itu Santi mengeluh mengalami nyeri pada bagian kandungannya. Akhirnya, Indra membawa ke Rumah Bersalin Sukoyo, Bogor. Sesuai hasil pemeriksaan USG, tim dokter menyatakan Santi menderita gejala tipus serta ada kista di bagian kanan dan kiri kandungannya.

Sehari kemudian, Santi langsung dirujuk ke RS PMI Bogor. Gula darah Santi terus menurun. "Inilah awal dari penderitaan almarhumah istri saya," ujar warga Jalan Rajawali Selatan Jakarta Pusat itu.

Hal ini terjadi karena ia menduga RS PMI telah melakukan tindakan medis tanpa konfirmasi yang jelas. Dr Ahani, yang menjadi penanggung jawab pasien, memerintahkan melakukan rontgen di bagian dada, padahal keluhan pasien di bagian perut.

Dr Ahani pun kemudian merujuk agar Santi ditangani dokter Surya Chandra. Dokter spesialis kandungan ini kemudian memutuskan harus segera melakukan operasi kista pada 14 November. "Anehnya, surat persetujuan operasi sudah ditandatangani tapi pasien tak kunjung dioperasi," kata Indra

Setelah 15 hari dirawat, tim dokter belum juga menemukan penyakit yang diderita Santi. Indra kemudian memindahkan istrinya ke RS Pelni Petamburan. Sama dengan rumah sakit sebelumnya, tim dokter masih belum menemukan penyakit Santi, meskipun sudah dirawat tiga minggu.  Padahal, berdasarkan USG ditemukan ada pendarahan dalam kandungan.

Selain itu, kata Indra, hemoglobin Santi terus turun, sementara dokter yang bertanggung jawab tidak pernah datang. "Dan setiap hari saya ditagih bayar Rp 5 juta," jelasnya.

Indra kemudian memindahkan istrinya ke RS Cipto Mangunkusumo pada 17 Desember 2003. Tak sampai satu hari, akhirnya penyakit Santi diketahui. Dokter menyatakan bahwa penyakit Santi ada pada usus, dan tidak ada kaitannya dengan kandungan.

Di rumah sakit itu, Indra juga merasa mendapatkan pelayanan medis yang tidak layak. Santi pun akhirnya menghembuskan nafas terakhir di sana.

Di tengah berkecamuknya perasaan Indra, salah satu dokter di RS PMI Bogor pernah menemuinya untuk meminta maaf. "Ini kan menunjukkan bahwa ada kesalahan dalam penanganan terhadap istri saya."

Indra pun kemudian menggugat tiga rumah sakit tersebut,  RS PMI Bogor, RS Pelni, dan RSCM, sekaligus di di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu, ia juga menggugat Dr. Ahani, Dr. Surya Chandra Narya, Dr. Sunarya, dan Dr. Nopi H (RS PMI Bogor), Prof. Dr Ali Sulaiman dan Dr Nugroho (RS Pelni Petamburan), serta Dr. Fahrurozi dan Prof. Dr. Daldiyono (RSCM).

Indra menilai tindakan dari para tergugat melanggar Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Kode Etik Dokter, dan Kode Etik Rumah Sakit. Ia meminta agar para tergugat membayar ganti rugi secara tanggung renteng sebesar Rp 3,047 miliar. Ganti rugi ini harus dibayar paling lambat empat hari sejak putusan. "Tapi putusannya, gugatan penggugat tidak diterima hakim," ujar kuasa hukum Indra, Hermawanto dari LBH Jakarta.

Tak puas atas hasil itu, Indra kemudian menggugat Majelis Kedokteran DKI Jakarta hingga Departemen Kesehatan. "Tapi akhirnya tidak ada jawaban pasti hingga kini," ujar Indra.

Menurut Hermawanto, ketidakjelasan proses hukum, dalam kasus dugaan malpraktik, tak hanya dialami Indra. Salah satu kliennya, keluarga Darwis Lubis, juga mengalami hal yang hampir sama ketika mengadukan dokter dari RS Fatmawati, Dr. Lukti Gatam dan Prof. Dr. Subroto Sapardan, ke Polda Metro Jaya.

Kedua dokter itu diduga salah menganalisa penyakit anak perempuan Darwis, Celli Wine Carlina (16). Tim dokter yang merawat Celli menyatakan pasien terkena penyakit scoliosis.

Tim dokter yang mengoperasi Celli kemudian memasang sebanyak 12 mur dengan panjang 30 sentimeter di tulang belakang. Pasien sempat dirawat selama sebulan.

Sekitar satu tahun setelah operasi, punggung Celli terlihat mengalami kelainan. Keluarga Darwis kemudian kembali lagi menemui dokter Subroto. Dokter itu kemudian mengusulkan agar bagian yang menonjol itu agar dipotong.

Atas tindakan itu, Darwis melaporkan Lukti dan Subroto karena diduga melanggar ketentuan dalam Pasal 360 tentang kelalaian yang menyebabkan cacat. "Tapi gugatan ini tidak diketahui lagi rimbanya," ujar Hermawanto.

Meski begitu, kata dia, tidak semua kasus dugaan malpraktik berujung pada ketidakpastian saat berurusan dengan hukum. Dia menceritakan pengalaman kliennya, Andry Oei, saat menggugat bidan RS Libra, Sri Ningrum. Bidan itu dinilai tidak melakukan pengawasan terhadap Sherly, putrinya, yang baru lahir. Akibatnya, Sherly mengalami cerebal palsy hingga kesulitan dalam tumbuh kembang.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Cibinong memenangkan gugatan dari Andry Oei. Namun, pihak tergugat langsung mengajukan banding. "Sampai saat ini kami masih menunggu putusan banding di Pengadilan Tinggi Bandung," kata Hermawanto, dari LBH Jakarta.

Pengalaman yang hampir mirip juga dialami oleh mantan Direktur Utama PT Aneka Tambang, Darmoko. Gugatan yang ia ajukan ke Rumah Sakit Pondok Indah berujung manis.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai Rumah Sakit Pondok Indah harus bertanggung jawab atas kematian istrinya, Sita Dewati Darmoko.

Kasus ini berawal saat Sita dioperasi untuk pengangkatan tumor di rumah sakit tersebut pada 12 Februari 2005. Operasi itu dipimpin Prof DR. Ichramsyah A. Rachman. Usai operasi, tumor yang tumbuh di tubuh Sita dinyatakan tidak ganas.

Masalahnya, hasil uji pathology anatomy pada 16 Februari menunjukkan fakta lain. Tumor yang tumbuh di ovarium Sita ternyata ganas dan tidak pernah dikabarkan ke pasien maupun keluarganya.

Setahun kemudian, Sita kembali mengeluh sakit. Dia mengeluh adanya benjolan di sekitar perutnya. Sita pun kembali ke RS Pondok Indah. Dan baru pada saat itulah, Sita diberitahu mengenai hasil uji laboratorium pathology anatomy yang menyatakan tumor yang berada di tubuhnya adalah ganas.

Kondisinya pun makin memburuk. Hasil pemeriksaan CT-scan menunjukkan tumor yang diidapnya sudah pada tahap stadium IV.  Ini menunjukkan pasien menderita kanker lever stadium IV. Sita pun harus menjalani kemoterapi sebanyak enam kali.

Atas kelalaian itu, RS Pondok Indah menawarkan ke keluarga Darmoko ganti rugi Rp 400 juta. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi Rp 1 miliar. Janji itu tidak pernah direalisasikan hingga Sita meninggal.

Tak puas atas tindakan rumah sakit tersebut, keluarga almarhumah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebesar Rp Rp 20,172 miliar. Gugatan diajukan dua anak almarhumah, Pitra Azmirla dan Damitra Almira.

Sedangkan yang menjadi tergugat adalah PT Guna Mediktama, pemilik dan pengelola rumah sakit; Hermansur Kartowisastro, dokter spesialis bedah RSPI; Icharmsjah A Rahman, dokter spesialis kandungan RSPI; I Made Nazar, dokter spesialis patologi RSPI; Emil Taufik, dokter spesialis penyakit dalam; Bing Widjaja, Kepala Laboratorium RSPI; dan Komite Medik RSPI.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya memenangkan keluarga Darmoko. Para tergugat diwajibkan membayar ganti rugi Rp 2 miliar secara tanggung renteng.

Majelis hakim yang diketuai Sulthoni menyatakan para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.

Meskipun jumlah ganti rugi yang diminta tak sesuai dengan gugatan awal, namun kasus ini dinilai dapat menjadi preseden baik. "Ini penting untuk perbaikan standar profesi pelayanan medis," ujar kuasa hukum keluarga Darmoko, Firman Wijaya.

Putusan itu, dia melanjutkan, membuktikan bahwa dokter dan rumah sakit dapat terbukti melakukan pemeriksaan dan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan medis.

Mengapa Dorkas Koma Tiga Bulan

Operasi sesar dilakukan saat tensinya tinggi. Hingga kini tidak sadarkan diri.
Jum'at, 27 Februari 2009
Oleh : Maryadie, Zaky Al-Yamani, Sandy Adam Mahaputra
Dorkas saat dirawat di rumah
VIVAnews - WAJAH Dorkas  terus  mendongak ke  plafon kamar. Matanya melotot. Tatapannya kosong.  Ibu muda berusia 32 tahun ini  berbaring lunglai di kamar 520  Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Saat VIVAnews berkunjung ke sana Kamis pagi pekan ini, mata Dorkas tak pernah terpejam. Dia terus melotot hingga pamit sore hari.
Sebuah selang infus menikam tangan kanannya.  Sudah berhari-hari belasan botol infus mengalirkan makanan cair, juga vitamin ke dalam tubuhnya. Dan infus itulah satu-satunya penopang jiwa raga Ibu beranak satu ini.
Dia juga sudah tidak kuasa menghirup udara. Sebuah selang tabung oksigen menyusup ke lubang hidung. Lewat selang itulah oksigen dialirkan ke seluruh tubuh. Nafasnya pelan.
Di sampingnya berjaga setia seorang wanita tua. Dialah Tiromsa Simanjuntak, ibunda wanita malang ini.  Tiromsa terus-terusan menatap iba sembari menyeka wajah anaknya dengan kain basah. Usapan kain basah itu dilakukan agar wajah sang anak tidak kering.
Maklum, sudah tiga bulan wanita ini tidak sadarkan diri. Koma. Saban hari sang suami dan ibunda cuma bisa pasrah. “Airmata kami seakan sudah kering,” tutur Tiromsa sembari mengusap wajah anaknya.
Di ruangan 502 itu Dorkas tak sendiri. Kamar berukuran sedang ini juga dihuni lima pasien lainnya. Sehari tarifnya  Rp 100 ribu. Tidak ada televisi apalagi  meja tamu. Tapi ada penyejuk udara yang bisa memberikan kenyamanan.

Kisah pilu Dorkas Hotmian Silitonga ini bermula dari dini hari, 9 November 2008.  Saat itu dia tengah hamil tua. Sekitar pukul 03.30 WIB, perutnya mulas terus-terusan. Pertanda sang janin hendak menemui dunia. Repotnya sang suami, Ramli Simanjuntak, tidak di rumah. Dia bekerja di Lampung.
Beruntung ada Rico, sepupu yang selalu menemani Dorkas saat kehamilan menginjak bulan tua. Juga ada Mazmudin dan Tuti Amiyati, pasangan suami istri yang menjadi tetangga dekatnya. Bersama Rico dan dua tetangga itulah Dorkas di bawa ke Rumah Sakit Bhakti Yudha, Depok, Jawa Barat. Dorkas diboncengi Rico.
Ibu hamil ini  menembus dinginnya udara malam sambil menahan rasa mules.  "Dorkas dibawa menggunakan sepeda motor sepupunya, Rico dan saya dengan istri ikut mengantar," kata Mazmudin kepada VIVAnews.
Perjalanan menempuh waktu kurang lebih dari sepuluh menit. Memang jarak rumah Dorkas di di Pancoran Mas RT 2 RW 17 Nomor 35 Kampung Baru, Depok, ke rumah sakit berdekatan.
Setibanya di rumah sakit, Dorkas langsung diperiksa dokter. Menurut Mazmudin, ketika itu dokter mengatakan masih pembukaan satu. Tapi ada yang mencemaskan. Tensi darahnya cukup tinggi antara 180/100. Setelah mendapatkan pemeriksaan, pukul 17.30 di hari yang sama tensi darahnya turun menjadi 160/100.
Mazmudin dan istri memutuskan pulang dulu ke rumah. Dorkas hanya ditemani sepupunya. Keesokan paginya, lewat telepon Dorkas mengabarkan kepada Mazmudin bahwa bayinya telah lahir lewat operasi sesar. Jenis kelamin perempuan.
Bayi mungil diberi nama Patricia Margaretha Simanjuntak. Mazmudin senang tapi dia terheran-heran dengan operasi sesar itu.  "Saya langsung tanya ke dia kenapa disesar, bukannya tekanan darahnya masih tinggi," kata Mazmudin.
Dorkas hanya menjawab, "Iya tidak apa-apa yang penting saya dan bayi sudah selamat." Dirubungi rasa bahagia Mazmudin dan istri  melaju kembali ke rumah sakit untuk melihat langsung keadaan Dorkas dan anaknya. Mereka tiba pukul sepuluh pagi. 10 November 2008.
Sampai di sana Dorkas tengah marah-marah. Rupanya Dorkas belum diperbolehkan bertemu putrinya usai melahirkan. Amarahnya kian memuncak ketika dia melihat keponakannya datang menjenguk. Mestinya, kata Dorkas, sang keponakan pergi ke sekolah, bukan malah menjenguknya di rumah sakit.
Emosi yang meletup-letup membuatnya menjadi sesak nafas dan kejang-kejang. Sontak hal ini membuat panik kerabat Dorkas. Para dokter pun langsung datang melakukan penanganan dengan memberikan bantuan pernafasan. "Istri saya langsung dipeluk Dorkas, sambil mengatakan jangan tinggalkan saya mbak," lanjut Mazmudin.
Dokter langsung memberikan bantuan suntikan. Kepada Mazmudin dokter mengatakan keadaan Dorkas memburuk dan harus segera dirujuk ke RS Mitra Depok, karena di sini tidak ruang ICU. Tak berapa lama berselang, Dorkas tertidur dan tak sadarkan diri hingga lunglai di rumah sakit Cipto itu.


Sejumlah media kemudian memberitakan bahwa Dorkas korban mallpraktik. Para dokter dianggap lalai lantaran melakukan operasi saat tensi darahnya masih tinggi.

Betulkah? Tidak mudah memastikannya. Dr. Ari Kusuma Spog, dokter yang merawat  Dorkas, menjelaskan bahwa ibu muda itu mengalami preklaimsia berat alias keracunan kehamilan. Ahli kebidanan dan kandungan itu menegaskan bahwa saat masuk rumah sakit, Dorkas sudah mules dan  tensi darahnya 160/100. Kedua kakinya juga bengkak.
Setelah diperika di labotarium, ternyata ada penyakit kehamilan preklaimsia berat karena tensi darah yang cukup tinggi. Ditambah lagi belum juga ada pembukaan. “Lalu kami setuju untuk segera dilahirkan bayinya,” kata sang dokter.
Operasi itu dilakukan lantaran menurut hasil diagnosa denyut jantung sang janin naik menjadi 170 per menit. Normalnya,  kata sang dokter, denyut nadi janin Sembilan bulan di bawah 150 per menit.
Kondisi bayi juga sudah kurang oksigen dan mengkhawatirkan, tensinya juga tidak turun. Keluarga akhirnya sepakat untuk dioperasi sesar. Setelah operasi itu kondisi ibunya stabil, anaknya juga baik-baik saja.

Sang dokter menuturkan bahwa hingga esoknya kondisi Dorkas stabil. Kondisinya kemudian berubah setelah sang pasien sempat marah dengan pihak keluraga. Tiba-tiba dia sesak nafas yang sangat akut, gelisah dan batuk. “Saya langsung cek bersama dokter anastesi,” kata Ari.
Sang dokter menambahkan bahwa Dorkas mengalami komplikasi di paru-paru dan penyakit preklamsia. Dia sulit bernafas dan oksigen berkurang. Sehingga langsung drop hilang kesadaran dan tensi tidak terukur. “Kami berdua langsung memberikan obat-obatan anti kejang dan hipertensi dan tensi mulai naik lagi,” katanya.

Dalam kondisi seperti ini pasien butuh perawatan khusus yaitu Intensive Care Unit (ICU). Itu sebabnya para dokter merujuk Dorkas ke RS Mitra Keluarga Depok. Sebab rumah sakit ini tidak memiliki ruang ICU.

Dorkas lalu  dipindahkan ke RS Mitra Depok. Suami Dorkas, Ramli Simanjutak,  sontak kaget mendengar berita istrinya memburuk pasca melahirkan. Di tengah kegalauan, Ramli yang sedang bekerja di Lampung langsung melaju pulang. "Saya kaget, karena sebelumnya dia sempat telepon kalau kondisinya sehat," kata Ramli kepada VIVAnews.
Ramli mengenang, dia sempat menelepon Dorkas terakhir kalinya pukul 07.00, 10 November 2008.  Dia tak menyangka ketika  itu menjadi percakapan terakhir Ramli dengan sang istri Dorkas yang tak sadarkan diri hingga sekarang. "Saya ingat dia bilang ingin sarapan dan minta saya cepat pulang," ungkapnya.
Menurut Ramli, Dokter RS Mitra, mengatakan istrinya dalam kondisi kritis. Setelah di-scan ulang di rumah sakit itu ternyata ada pembengkakan otak yang parah. Penyebabnya suplai oksigen ke otak sempat berhenti. "Dokter sudah memvonis harapan istri saya sangat kecil," katanya.
Mulai sejak itu Dorkas terbaring di ICU tanpa ada kemajuan apapun. Biayapun terus mengalir hingga ratusan juta. Harta benda sudah habis terjual. Demi kesembuhan sang istri, Ramli rela meminjam uang dari keluarga dan teman-temannya. Ramli mengaku sudah habiskan uang Rp 168 Juta.
Secercah harapan timbul, pada 14 November 2008. Dorkas mulai bisa bernafas, setelah sebelumnya menggunakan alat bantu pernafasan (ventilator). Tapi sayangnya Dorkas masih juga tak sadarkan diri. Sampai akhirnya tim dokter Rumah Sakit Mitra Keluarga yang berjumlah lima orang pun angkat tangan.
Kepala Humas Marketing Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok Florida Ilona mengatakan, Dorkas masuk rumah sakit sudah kesadarannya sudah menurun. Untuk bernafas juga dibantu dengan alat.  Dorkas langsung dirawat di ruang ICU. Setelah dilakukan pemeriksaan rekam otak, ada pembengkakan di bagian otak.

Setelah dirawat di ruang ICU selama 16 hari dengan bantuan alat pernafasan, Dorkas kemudian dibawa ke ruang perawatan setingkat di bawah ICU sehingga kondisi pasien stabil dan dilanjutkan ke ruang perawatan biasa. Korban selama di rumah sakit ini menjalani terapi hingga dipulangkan pada 17 Desember 2008.

Menurut Florida, setelah pulang kondisi pasien stabil dengan keadaan tanda vital baik yakni tensi, tekanan, darah nadi dan pernafasan dalam keadaan baik. Namun kesadarannya masih rendah dan meneruskan perawatan di rumah. "Kami berusaha maksimal, kesadarannya sudah memburuk sejak datang," ujarnya.
Ramli memutuskan untuk membawa pulang sang istri karena sudah tidak mampu membayar biaya perawatan. Tapi Ramli tidak mau menyerah begitu saja, dia masih menempuh pengobatan dengan cara akupuntur. "Tapi sama sekali belum ada kemajuan," terangnya.
Istri tak kunjung sembuh, Ramli juga masih dipusingkan dengan sisa pembayaran rumah sakit. Biaya perawatan mantan guru honorer SMP 127 Jakarta itu masih menyisakan pembayaran Rp 13 juta. Beruntung biaya perawatan Aida, begitu Dorkas dipangggil, dibantu keluarga besarnya dan perkumpulan gereja. Suaminya pun menjaminkan sepetak rumah yang dihuninya.

Salah satu kerabat Dorkas, Evita Hutapea menyebutkan, RS Mitra Keluarga sempat tidak memperbolehkan membeli obat di luar dan tak memperbolehkan pasien pulang lebih cepat. Bahkan rumah sakit ini menolak surat keterangan tidak mampu (SKTM) dan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Alasannya RS Mitra Keluarga bukan rumah sakit mitra Jamkesmas.

Namun tudingan ini, dibantah Florida.  Menurut Florida, sampai saat ini keluarga pasien tidak pernah menyatakan keberatan biaya baik lisan muapun secara tertulis. Selama ini pasien dianggap mampu karena tidak ada pernyataan dari pihak keluarga terkait ketidakmampuan.

Semenjak menjalani perawatan selama tiga bulan di rumah, sejumlah media silih berganti datang rumah Dorkas. Kabar soal Dorkas sampai ke Dinas Kesehatan Depok. Dinas Kesehatan Kota Depok akan merujuk Dorkas  ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Akhirnya dengan menumpang ambulans B 7313 QK milik Dinas Kesehatan Kota Depok, pukul 14.00, Senin, 24 Februari 2009 Dorkas tiba di RS Cipto Mangunkusumo. Setelah sampai di RSCM Dorkas tidak langsung ditangani.

Sekitar satu jam lebih, belum mendapat ruang perawatan. Dorkas tergolek lemah di kasur dorong di lorong kamar pasien. "Kami sudah menunggu lama, kasihan istri saya," kata Ramli

Namun RSCM membantah menelantarkan. Humas RSCM Yati Bahar mengatakan, saat Dorkas tiba langsung dibawa ke ruang UGD.

Dorkas memang tidak langsung dibawa ke kamar UGD. Sebab kapasitas kamarnya tidak memenuhi. "Kemarin saja jumlahnya 42 orang. Dan tempat tidur pasien cuma 10 di ruang UGD," katanya.

Selain itu di ruang isolasi hanya ada tiga bangsal.  Kendati tidak dibawa ke ruang perawatan UGD, namun Dorkas diletakkan di depan ruang perawatan. "Jadi bisa langsung dikontrol," kata Yati. Tim dokter langsung memeriksa fisik. Begitu juga tim neurologi ikut memeriksa.

Setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, kondisi Dorkas Hotmian Silitonga belum mengalami kemajuan. Namun pada Kamis, 26 Februari 2009 Dorkas menjalani computed tomography (CT) Scan atau rontgen seluruh badan.

Kondisi Dorkas pun mengalami perubahan. Dengan tubuh tergolek dan selang infus makanan di hidung, dia masih tertidur tak sadarkan diri. Matanya tampak masih melotot ke atas.Pada Kamis, 26 Februari 2009, Dorkas langsung menjalani computed tomography (CT) Scan atau rontgen seluruh badan.

Dr Fredi Sitorus, Specialis Neurologi RSCM mengatakan, berdasarkan hasil CT Scan, masih ada gelombang normal di otak Dorkas. Kerusakannya tidak total. Namun, kondisi ini sangat mempengaruhi kesehatannya. "Bila selama enam bulan tidak ada perubahan maka Dorkas sulit mengalami perbaikan," ujar Fredi ,

Tekanan darah dan pernafasan Dorkas masih baik. Namun, Dorkas tidak bisa melakukan kontak dan berkomunikasi dengan lingkungannya. Dokter hanya memberikan obat untuk pemulihan kondisi fisiknya.

Atas kondisi terakhir Dorkas, dokter RSCM meminta keluarga tidak terlalu berharap banyak. "Kami tidak mau memberikan harapan besar kepada keluarga," ujar Fredi.
Kini Ramli dan ibunda Dokras, Tiromsa Simanjuntak terus berharap akan adanya keajaiban untuk kesembuhan istri dan menantu mereka. Meskipun tanda-tanda itu masih belum muncul hingga sekarang. “Kami hanya berserah kepada Tuhan,” kata Ramli.

Kendati keluarga Dorkas menduga ada kelalaian dari dokter RS Bhakti Yuda Depok, namun mereka belum berpikir untuk menuntut rumah sakit. "Buat apa menuntut kalau istri saya tetap tidak sembuh, kecuali kalau bisa memulihkan istri saya," kata Ramli yang mengaku tidak tahu soal medis dan hukum.
Namun jika ada lembaga yang berkompeten mengatakan terbukti penyebab ini karena adanya malpraktik Ramli akan berpikir lain. "Kalau itu pasti saya langsung menuntut mereka dengan jalur hukum," imbuhnya.
Menanggapi adanya dugaan malpraktik, Direktur Operasional RS Bhakti Yudha Dr. Hannibal Pardede menepisnya. “Kami sudah melakukan pelayanan sesuai prosedur. Kalau memang ada kemungkinan lain,  kami juga tidak bisa memprediksikan soal nyawa,” katanya kepada VIVAnews.
Dia menuturkan, dalam kasus ini harus ada yang menilai dari pihak berkompeten untuk melihat apakah terjadi kesalahan penanganan. “Dalam hal ini Departemen Kesehatan dan IDI. Ini sudah dijalankan, sekarang sedang diproses,” katanya.

Hannibal mengatakan, rumah sakit akan tetap bertanggung jawab. Jika masalah ini hingga ke jalur hukum akan tetap ditempuh. “Kami akan ikuti itu prosesnya. Kami tidak akan lepas tangan begitu saja,” tutur Hannibal.


Kasus - Kasus Malpraktek Terkonyol Dalam Sejarah Medis

Menurut data yang ada, para pengunjung anehdidunia.blogspot lebih dari 195.000 orang amerika meninggal karena malpraktek atau kesalahan Dokter dari 37 Juta catatan pasien setiap tahunnya daripada kecelakaan lalulintas darat laut dan udara, AIDS, Kanker digabungkan menjadi satu.

Berikut 10 besar kesalahan fatal dalam dunia kedokteran :

1. Salah Sperma Dalam Bayi Tabung


 
 
Ketika Nancy Andrews, dari Commack, NY, menjadi hamil setelah di vitro pemupukan sperma di klinik kesuburan Newyork, dia dan suaminya yang tampan mengharapkan sepertinya. Apa yang mereka harapkan adalah seorang anak yang signifikan dengan kulit yang gelap lebih baik dari orang tuanya. Menyusul tes DNA yang disarankan dokter di Kedokteran New York Layanan bagi Pengobatan Reproduksi, disengaja menggunakan sperma orang lain untuk ditanamkan ke sel telur Nancy Andrews’ .

Kemudian bayi tersebut lahir 19 Oktober 2004, mereka menuntut karena malpraktik tindakan ceroboh seorang pemilik klinik.

2. Salah Mencangkok Jantung dan Paru-Paru, Sehingga Meninggal


 
 
17 tahun Jésica Santillán meninggal 2 minggu setelah menerima jantung dan paru-paru pasien dari golongan darah yang tidak cocok dengan dia. Dokter di Duke University Medical Center gagal untuk memeriksa kompatibilitas sebelum operasi dimulai. . Setelah operasi kedua transplantasi untuk mencoba memperbaiki kesalahan, dia menderita kerusakan otak dan komplikasi yang menyebabkannya meninggal.
http://anehdidunia.blogspot.com

Santillán, seorang imigran Meksiko,datang ke Amerika Serikat tiga tahun sebelumnya untuk mencari perawatan medis atas jantung dan paru-parunya. transplantasi Jantung & paru-paru oleh Dokter Ahli Bedah Rumah Sakit di Universitas Duke di Durham, NC, diharapkan akan memperbaiki kondisi ini, bukan menempatkan dia dalam bahaya besar; Santillán, yang memiliki jenis darah-O, telah menerima organ dari tipe donor A .

3. Operasi Testis Yang Salah


 
 
Hal lain adalah salah-sisi operasi, Dokter Ahli Bedah keliru membuang testis yang sehat sebelah kanan dari vetran Air Force 47 tahun Benjamin Houghton. Pasien yang telah yg mengeluh sakit dan berkurangnya mentalitas dari testis sebelah kiri jadi dokter memutuskan untuk menjadwalkan operasi untuk membuangnya karena takut kanker. Namun para pengunjung anehdidunia.blogspot apa yang dibuangnya adalah testis yang sehat, yakni yang sebelah kanan, pasangan tersebut kemudian mengajukan ganti rugi sebesar Us$200.000 karena kesalahan fatal tersebut

04. Pasca Operasi Logam Tertinggal Di Dalam


 
 
Donald Church, 49 tahun, memiliki tumor di perut ketika ia tiba di Universitas Washington Medical Center di Seattle pada bulan Juni 2000. Ketika dia kembali, tumor sudah tidak ada namun sebuah logam retractor ketinggalan didalamnya. Dokter mengakui kesalahannya meninggalkan logam retractor sepanjang 13 Inci didalam perut, Untungnya, Dokter Ahli Bedah mampu mengangkat retractor tersebut segera setelah ditemukan, dan ia tidak mengalami kesehatan jangka panjang akibat dari kesalahan tersebut. Rumah sakit setuju untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 97,000.

5. Maunya Operasi Otak Malah Dioperasi Jantung


 
 
Joan Morris (nama samaran) adalah perempuan 67 mengakui ke rumah sakit untuk belajar namun kesalahannya fatal, karena telah mengambil pasien yang salah yang harusnya dioperasi otak malah dioperasi jantungya. sang pasien sudah di meja operasi selama satu jam. Dokter telah membuat torehan -torehan di dada, artery, alur dalam sebuah tabung dan snaked atas ke dalam hatinya (prosedur dengan risiko perdarahan, infeksi, serangan jantung dan stroke).

Yaitu saat telepon berdering dan dokter dari departemen lain ditanya “apa yang anda lakukan dengan pasien saya?” tidak ada yang salah dengan jantungnya ! “. Kardiolog yang bekerja pada wanita itupun memeriksa grafik, dan melihat bahwa dia telah membuat kesalahan yang hebat. Kajian ini dibatalkan, dan dia kembali ke kamar itu dalam kondisi stabil.

6. Operasi Otak Salah Hingga 3 Kali Dalam Setahun


http://images.200806.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/SZobCwoKCF4AABqAjd81/06.jpg?et=DEcA0gsFlvqJ0%2B%2Cb3Kw0WA&nmid=0
 
Untuk yang ketiga kalinya pada tahun yang sama, dokter di RS Rhode Island telah mengoperasi salah satu sisi kepala pasien. Kejadian yang terbaru terjadi Nov 23 2007. perempuan 82-an tahun suatu operasi untuk menghentikan pendarahan otak dan tengkorak nya. J neurosurgeon di rumah sakit memulai mengoperasi pengeboran sisi sebelah kanan kepala pasien, meskipun sebuah CT scan menunjukkan perdarahan di sebelah kiri, menurut laporan setempat. Para penduduk melaporkan kesalahan, setelah mana menutup lubang sebelah kiri dari kepala pasien. Pasien tersebut dalam kondisi yang baik pada hari Minggu.

Echoes kasus dari kesalahan yang sama Februari lalu, di mana yang berbeda adalah dokter mengoperasi pada salah satu sisi kepala pasien. Dan terakhir Agustus, pria 86 tahun meninggal tiga minggu setelah seorang ahli bedah di Rumah Sakit Rhode Island mengooperasikan secara tidak sengaja di salah satu samping kepalanya.

7. Salah Amputasi Kaki


http://images.200806.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/SZobSwoKCF4AABSDfF41/07..jpg?et=R8viyHRoVTXWpqJ1HiSUgQ&nmid=0
 
Mungkin ini adalah kasus yang paling terkenal yakni kasus kesalahan pemotongan kaki di Tampa (Florida) terhadap pria 52 tahun Willie King, saat prosedur pemotongan pada Februari 1995. Akibat kesalahan fatal rumah sakit tersebut di cabut licensi nya selama 6 bulan dan denda 10.000 US$ dan membayar 900.000 US$ terhadap Willie King dan terakhir tim operasi membayar juga 250.000 US$ terhadap King
http://anehdidunia.blogspot.com

08.Kesalahan Mengeluarkan Ginjal Yang Sehat

http://images.200806.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/SZobhQoKCF4AABSEfUY1/08..jpg?et=5J0Ue30q4tPfJkWYwG8ZvA&nmid=0
 
Louis Park, Minnesota, pasien yang dirujuk ke Rumah Sakit Park Nicollet Metodhist karena memiliki tumor yang diyakini menjadi kanker. Namun, dokter salah mendiagnosa dan membuang ginjal yang sehatnya

“Penemuan ini pengunjung anehdidunia.blogspot dilakukan pada hari berikutnya ketika diperiksa oleh tim patologi dan tidak menemukan bukti dari segala kejahatan,” kata Samuel Carlson, MD dan pimpinan Park Nicollet Chief Medical Officer. Yang berpotensi kanker, ginjal tetap utuh dan berfungsi. Untuk privasi dan permintaan keluarga, tidak ada rincian tentang pasien.

9. Bangun Ketika Dioperasi


 http://images.200806.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/SZockAoKCF4AADtmC1M1/09..jpg?et=P%2B7w0z2Kc6HZVV7Tqo7DVw&nmid=0
 
Pria dari Virginia Barat ini mengaku terbangun dari Pingsannya ketika dioperasi dan merasakan setiap sayatan dari pisau bedah yang dilakukan tim dokter ketika mengoperasi, yang menyebabkan mengalami trauma selama dua minggu kemudian, Sherman Sizemore kemudian mengajukan tuntutan ke Rumah Sakit Umum Raleigh Beckley, W.Va., Jan 19, 2006 untuk operasi penyelidikan dan menentukan penyebab nya ia terbangun. Tetapi pada saat operasi, dia dilaporkan mengalami fenomena yang dikenal sebagai yg menyebabkan kematirasaan kesadaran – sebuah negara di mana seorang pasien bedah dapat merasakan sakit, tekanan atau kegelisahan saat operasi, tetapi tidak dapat bergerak atau berkomunikasi dengan dokter.
http://anehdidunia.blogspot.com

Tim Dokter Telah melukai pria 73 tahun tersebut dengan pengalaman yang terjaga selama operasi tetapi tidak dapat bergerak atau menjerit kesakitan.

10.Bedah Jantung Yang Salah


 http://images.200806.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/SZoimQoKCF4AAFa1Ojo1/10..jpg?et=Cr%2CVOMN8KoF6lJ1jsFGoyA&nmid=0
 
Dua bulan setelah dua kali operasi bypass jantung yang diduga untuk menyelamatkan hidupnya, pelawak dan mantan Pembawa acara Saturday Night Live cast anggota Dana Carvey mendapat berita : ahli bedah jantung yang telah mem bypassed salah artery. Butuh waktu lain operasi darurat untuk menghapus blockage yang mengancam membunuh pria 45 tahun, pelawak dan ayah dua anak. Menuntut US $ 7,5 juta Carvey membawa perkara terhadap rumah sakit tersebut, dengan mengatakan ahli bedah telah melakukan kesalahan fatal “Ini seperti mengeluarkan ginjal yang salah. Ada kesalahan yang besar,” demikian seperti dikutip People Magazine

Kesalahan Diagnosis Dokter: Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-kah?


Negara Pam Sam sempat dilanda kehebohan ketika sekumpulan dokter berdemonstrasi di beberapa negara bagian. Mereka memprotes kenaikan premi asuransi yang dijadikan jaminan dalam menghadapi kasus malpraktek medik atau kelalaian medik, seandainya mereka melakukan kesalahan diagnosis.
(*)Advokat di Jakarta;(**)Residen Program Spesialis di sebuah Universitas Negeri di Moskwa, Rusia
Dibaca: 19554 Tanggapan: 41
Para dokter tersebut bahkan rela meninggalkan buku resep obat dan tempat praktek mereka serta menggantinya dengan papan protes. Mereka juga turun ke jalan sebagai wujud dari aksi protes mereka terhadap kenaikan premi asuransi tersebut. (USA TODAY,18 Januari 2004).

Tentu tidak akan pernah terbayangkan oleh masyarakat bahkan oleh para dokter di Indonesia untuk mengikuti jejak rekan sejawat mereka di Amerika Serikat, yang sampai harus  turun ke jalan akibat keharusan membayar premi asuransi profesi dokter.

Namun akhir-akhir ini, karena maraknya kasus dugaan malpraktek medik atau kelalaian medik di Indonesia, ditambah keberanian pasien yang menjadi korban untuk menuntut hak-haknya, para dokter seakan baru mulai 'sibuk'  berbenah diri. Terutama dalam menghadapi kasus malpraktek. 'Kesibukan' ini terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan meningkatnya kesadaran hukum di masyarakat menuntut keadilan.

Mengamati pemberitan di media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpaktek medik dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Salah satu dugaan malpraktek yang menonjol adalah kasus yang menimpa Augustianne Sinta Dame Marbun, istri pengacara kondang Hotman Paris Hutapea. Ia mengalami kerusakan ginjal yang diduga diakibatkan pemakaian antibiotik dosis tinggi (Suara Pembaruan, 9 Desember 2003).

Anne, begitu Augustianne biasa disapa, divonis oleh seorang dokter spesialis kandungan harus menjalani pengangkatan rahim. Sebelum dilakukan operasi, ia harus meminum antibiotik dosis tinggi tiga kali sehari selama tujuh hari. Setelah meminum antibiotik tersebut, kondisi Anne justru makin buruk. Karena cemas dengan kondisi istrinya, Hotman Paris membawanya ke rumah sakit untuk memperoleh second opinion. Disitu baru terungkap bahwa antibiotik yang diminumnya ternyata membawa kerusakan pada ginjalnya. Dosis yang diberikan kepada Anne dinilai terlalu tinggi. Akhirnya ia dibawa ke Singapura untuk menjalani pengobatan. Nyatanya, setelah menjalani pemeriksaan di salah satu rumah sakit terkemuka di sana, Anne tak perlu menjalani operasi pengangkatan rahim. Cukup dengan pengobatan sinar laser selama 10 menit.
Kasus di atas tentunya sangat mengejutkan masyarakat awam. Keterkejutan tersebut semakin bertambah--apabila memang benar telah terjadi kesalahan diagnosis--mengingat reputasi dokter ahli kandungan yang menangani kasus tersebut sangat baik dan terpandang di Indonesia. Ironisnya lagi, kasus seperti ini bukan hanya sekali dua kali terjadi, tapi sudah sangat sering terjadi di Indonesia, bahkan telah banyak memakan korban jiwa. Banyak masyarakat yang berobat bukan menjadi sembuh, tapi malah menjadi cacat seumur hidup, bahkan meninggal dunia. Hal tersebut terjadi semata-mata adalah akibat kesalahan diagnosis dokter dalam penanganan terhadap pasiennya.
Anne adalah salah satu dari sekian banyak pasien di Indonesia yang mengalami pengalaman buruk akibat kesalahan diagnosis dokter. Kebetulan Anne sang pasien tersebut adalah istri pengacara ternama, sehingga kasus ini demikian gamblang terangkat ke media konsumsi masyarakat. Namun, bagaimana kalau hal ini terjadi pada pasien yang berasal dari golongan masyarakat miskin?
Tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik-kah dokter yang melakukan kesalahan diagnosis tersebut? Menurut Dr. Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), bila ada standarnya, salah diagnosis bisa diduga malpraktek. Sebab, dari salah diagnosis bisa berakibat salah terapi. Salah terapi bisa berakibat fatal. Banyak pasien meninggal di tangan dokter, dan ironisnya di Indonesia belum ada hukum yang mengatur standar profesi kedokteran dalam melakukan kesalahan profesi. Sehingga, sulit membedakan antara malpraktek dengan kelalaian, kecelakaan dan kegagalan. Apalagi pemahaman malpraktek pun masih belum seragam. Sehingga kerap pasien menuding terjadi malpraktek, sedangkan dokter membantahnya (Gatra, 13 Maret 2004).
Sementara itu Prof. dr.Farid Anfasa Moeloek, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berpendapat, batasan tegas tenaga medis melakukan malpraktek adalah jika tindakan tenaga medis tersebut sudah melanggar standar prosedur. Masalahnya, setiap rumah sakit memiliki Standar Operating Procedure (SOP) yang berbeda-beda, tergantung pada fasilitas yang dimiliki rumah sakit. Sehingga mengenai tuntutan malpraktek harus dilihat kasus per kasus. Tidak bisa digeneralisasi hal seperti apa yang menjadi malpraktek, dan mana yang bukan. (Kompas, 23 Januari 2003).
Kenyataan diatas sudah barang tentu membuat masyarakat 'ngeri' dengan dokter. Kengerian masyarakat tersebut bahkan bisa mengarah menjadi suatu ketidakpercayaan masyarakat terhadap dokter di Indonesia. Kengerian ini makin bertambah dengan kenyataan sulitnya menyeret dokter ke meja hijau karena tidak adanya suatu keseragaman tentang pemahaman malpraktek, karena ketiadaan hukum yang mengatur standar profesi kedokteran. Akhirnya, kalangan berduit memilih untuk berobat ke luar negeri seperti Singapura, Malaysia atau Australia, bahkan sampai ke negeri Cina.
Berdasarkan data LBH Jakarta, setiap tahun sedikitnya sepuluh orang melakukan pengaduan kepada LBH karena tindakan dokter atau petugas kesehatan yang merugikan. Tindakan tersebut mengakibatkan kecacatan atau kematian pasien (www.kompas.com, 28 Januari 2003). Sepengetahuan penulis, sebagian besar dari kasus yang dilaporkan tersebut telah diselesaikan secara damai.
Sementara di Amerika Serikat untuk tahun 2000 saja, terdapat 86.640 kasus tuntutan malpraktek dan sebagian besar juga diselesaikan melalui mediasi (www.medicalmalpractice.com). Hal ini membuat masyarakat semakin mencap dokter sebagai profesi yang kebal hukum. Kenyataan ini tentunya tidak hanya merugikan masyarakat, namun dapat merugikan profesi dokter sendiri.
Sungguh malang nasib para dokter yang menjalankan profesinya yang mulia. Di satu sisi profesi ini bukan pelaku usaha karena tujuannya bukanlah untuk mencari keuntungan semata. Profesi ini hanya memperoleh penghargaan atas upayanya dalam menyembuhkan pasien. Namun disisi lain ada resiko besar yang dihadapinya apabila dalam usahanya untuk menyembuhkan pasien. Entah karena takdir atau karena kelalaiannya (human error). Apalagi, bila tindakannya tersebut dinilai tergolong malpraktek medik, sehingga dia harus menghadapi tuntutan, baik perdata atau pidana.
Tentunya hal ini menimbulkan ketakutan tersendiri bagi para dokter dalam menjalankan profesinya, mengingat mereka adalah manusia biasa yang bisa berbuat salah. Dokter hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkan pasien, tapi tidak bisa menjanjikan kesembuhannya. Apabila dokter dituntut baik secara perdata maupun pidana, maka untuk menyelesaikannya perlu diadakan pemeriksaan perkara lebih lanjut di pengadilan. Dampaknya tentu saja dapat merusak citra dan nama baik dokter sebagai profesi yang luhur dan mulia, yang tidak semata-mata hanya mencari keuntungan, terutama bersifat kemanusiaan dan sosial.
Berangkat dari kasus tersebut diatas, maka muncul pertanyaan apakah kesalahan diagnosis dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktek medik atau kelalaian medik? Apakah mungkin dibentuk suatu hukum yang mengatur mengenai standar profesi kedokteran dalam rangka memberikan perlindungan hukum baik bagi masyarakat maupun profesi kedokteran sendiri? Untuk mempersempit ruang lingkup, penulis hanya membatasi tulisan ini dalam konteks hubungan dokter dan pasien, tidak mencakup ruang lingkup rumah sakit, laboratorium, dan tenaga medis selain dokter.
Meski berita yang membahas mengenai malpraktek medik atau kelalaian medik begitu marak, namun, jarang yang memaparkan pengertian mengenai hal tersebut. Oleh sebab itu, untuk memberikan pengertian yang lebih baik, penulis terlebih dahulu memaparkan beberapa pengertian malpraktek medik atau kelalaian medik.
Prof.dr. M. Jusuf Hanafiah, SpOG(K) memberikan pengertian tentang malpraktek medik yaitu kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini ialah sikap kurang hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik.
Lebih jauh lagi, Hanafiah berpendapat bahwa kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum De minimis noncurat lex yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal.
Adapun dokter dapat dikatakan melakukan malpraktek apabila dokter kurang menguasai ilmu kedokteran yang berlaku umum, memberikan pelayanan dibawah standar, melakukan kelalaian berat, atau melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.:
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian, maka penggugat harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut: adanya kewajiban dokter terhadap pasien, dokter melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai, penggugat menderita kerugian, dan kerugian tersebut disebabkan tindakan di bawah standar.
Sedangkan menurut Drs. Fred Ameln, S.H., seorang dokter melakukan malpraktek apabila ia melakukan suatu tindakan medik yang salah (wrong-doing) atau ia tidak atau tidak cukup mengurus pengobatan/perawatan pasien (neglect the patient by giving not or not enough care to the patient).
Kemudian J. Guwandi, S.H. mengatakan bahwa  malpraktek adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, bersifat stigmatis. Sebenarnya istilah malpraktek tidak hanya terjadi pada profesi kedokteran saja. Namun entah mengapa, ternyata dimana-mana, bahkan di luar negeri, istilah malpraktek selalu pertama-tama dikaitkan kepada profesi medis.
Ada beberapa penulis yang mengatakan bahwa sukar untuk mengadakan pembedaan antara negligence dan malpractice. Menurut pendapat mereka, lebih baik malpractice dianggap sinonim saja dengan professional negligence (Creighton, 167). Memang di dalam literatur, penggunaan kedua istilah itu sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama. Malpractice is a term which is increasingly widely used as a synonym for medical negligence (Mason-McCall Smith, 339).
Berbeda dengan pengertian-pengertian yang telah dipaparkan sebelumnya, J. Guwandi, S.H. tidak sependapat dengan pendapat yang mengatakan malpraktek lebih baik dianggap sinonim dengan kelalaian. Menurutnya, malpraktek tidaklah sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktek, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian.
Malpraktek mempunyai pengertian yang lebih luas daripada kelalaian. Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, onzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya suatu motif (mens rea, guilty mind). Sedangkan arti kelalaian lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannya.
Dari beberapa pengertian dan pendapat dari para ahli hukum kedokteran di atas, terlihat adanya perbedaan dalam melihat pengertian dari malpraktek dan kelalaian dalam profesi kedokteran. Namun terlepas apakah malpraktek medik dan kelalaian medik merupakan suatu pengertian yang sama atau berbeda, penulis berpendapat bahwa pada intinya pengertian-pengertian tersebut di atas adalah sama. Yaitu kesalahan dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasiennya, sengaja atau tidak sengaja tindakan medik tersebut dilakukan oleh sang dokter tersebut.
Namun ada baiknya pengertian malpraktek medik dan kelalaian medik di Indonesia diseragamkan dan diatur secara jelas serta tertuang dalam suatu peraturan perundang-undangan atau aturan tertulis. Terlepas apakah nantinya akan dibedakan antara pengertian malpraktek medik dan kelalaian medik, atau menjadi satu pengertian tanpa pembedaan.
Pengaturan ini sangatlah penting guna terciptanya suatu kepastian hukum bagi masyarakat dan dokter serta untuk menjamin rasa keadilan. Para dokter tidak dapat menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya, sedangkan pasien tidak dapat sembarangan menggugat dokter yang menanganinya. Terlebih apabila terlihat jelas bahwa tindakan medik yang dilakukan oleh dokter yang bersangkutan telah memenuhi UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Standar Profesi Kedokteran yang berlaku.
Mengenai kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter termasuk malpraktek medik/kelalaian medik atau bukan, penulis berpendapat bahwa sepanjang seorang dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasiennya memenuhi UU Kesehatan, KODEKI (lihat Pasal 1,2,6,10 dan 11) dan Standar Profesi Kedokteran, maka sekalipun dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis, tindakan dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktek medik/kelalaian medik.
Setiap kasus kesalahan diagnosis dokter yang mencelakakan pasiennya yang selama ini terjadi di Indonesia selalu dibawa ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) di bawah naungan IDI, baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang.
Memang KODEKI hanya mencantumkan tindakan apa yang harus dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Namun penerapan sanksi apabila terjadi pelanggaran atas KODEKI tidak diatur secara jelas. Hanya sanksi etika dan moral yang melekat dalam setiap pelanggaran KODEKI.
Jadi MKEK hanya memutuskan persoalan etika profesi kedokteran, mengingat kapasitasnya yang bukan merupakan lembaga pengadilan medik yang berwenang secara hukum untuk memutuskan apakah suatu kesalahan diagnosis adalah tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik. Paling banter MKEK hanya bisa memberikan pernyataan apakah seorang dokter yang melakukan kesalahan diagnosis telah melakukan tindakan medik sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU Kesehatan, KODEKI dan Standar Profesi Kedokteran yang ada atau tidak.
Mengenai perumusan Standar Profesi Kedokteran (medische profesionele standaard) menurut Leenen (seperti yang telah diterjemahkan oleh Drs. Fred Ameln, S.H.), adalah berbuat secara teliti dan seksama menurut ukuran medik, sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata (average) dibanding dengan dokter dari ketagori keahlian medik yang sama, dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional dengan tujuan kongkrit tindakan/perbuatan medik tersebut).
Menurut Drs. Fred Ameln, S.H., perumusan standar di atas harus dipakai untuk menguji apakah suatu perbuatan medik merupakan malpraktek atau tidak. Ternyata, Drs. Fred Ameln, S.H. berpendapat, unsur perumusan Standar Profesi Kedokteran menurut Leenen adalah yang paling lengkap dan memiliki banyak unsur yang sangat relevan.
Untuk menilai apakah kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter termasuk kategori malpraktek medik atau kelalaian medik, dapat ditelaah melalui standar di atas sebagai berikut: Pertama, dokter harus bekerja secara teliti dan seksama. Apabila memang kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter adalah akibat ketidaktelitiannya, misalnya salah dalam membaca hasil pemeriksaan laboratorium pasiennya, maka dokter yang bersangkutan telah memenuhi unsur kelalaian.
Kedua, dokter dalam mengambil tindakan harus sesuai dengan ukuran ilmu medik. Apabila dokter tersebut telah melakukan tindakan medik sesuai dengan ukuran ilmu medik dan terjadi kesalahan diagnosis, maka kesalahan dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai malpraktek medik atau kelalaian medik.
Ketiga, kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama. Keempat, dalam situasi kondisi yang sama. Kelima, sarana upaya yang sebanding dengan tujuan kongkrit tindakan medik tersebut. Bahwa menurut Drs. Fred Ameln, S.H., tindakan medik tidak saja harus sesuai dengan standar medik saja, akan tetapi harus pula ditujukan pada suatu tujuan medik. Tindakan diagnosis maupun tindakan terapeutik harus secara nyata ditujukan pada perbaikan situasi pasien. Apabila jelas terlihat bahwa seorang dokter telah melakukan upaya medik yang sangat maksimal demi kesembuhan pasien, namun ternyata dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis, maka tindakan medik dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai malpraktek medik atau kelalaian medik.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa kondisi setiap pasien adalah berbeda-beda, walaupun penyakit yang dideritanya sama. Sekali lagi dokter bukanlah Tuhan, namun hanyalah manusia biasa yang mencoba untuk memberikan pertolongan berdasarkan ilmu yang dikuasainya, UU Kesehatan, KODEKI serta Standar Profesi Kedokteran yang ada.
Selain itu, menurut Drs. Fred Ameln, S.H. bahwa harus disadari bahwa sulit sekali memberikan kriteria atau standar yang pasti untuk dipakai dalam setiap tindakan medik karena perbedaan situasi kondisi fisik pasien. Kondisi fisik para pasien yang berbeda-beda yang dapat menghasilkan reaksi, terutama terhadap obat, yang berbeda walaupun diberikan terapi yang sama sesuai dengan standar umum yang berlaku. Maka dari itu penulis tetap berpendapat bahwa sekalipun dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis namun dia sudah memenuhi UU Kesehatan, KODEKI dan Standar Profesi Kedokteran yang ada dan berlaku, maka tindakan medik dokter tersebut bukanlah suatu tindakan malpraktek medik atau kelalaian medik.
Apabila ternyata kesalahan diagnosis dokter tersebut tergolong malpraktek medik/tindakan medik atau bukan, dan  tidak terbukti secara jelas dan gamblang, sementara pasien ternyata menuntut ganti rugi dengan menggugat sang dokter baik secara perdata maupun pidana, maka hal ini harus dibuktikan lebih lanjut melalui lembaga peradilan yang ada di Indonesia, dengan tetap menganut asas praduga tak bersalah (presumption of innocent).
Untuk memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum baik bagi masyarakat dan para dokter, seperti yang telah dipaparkan diatas, penulis mengusulkan perlunya penyeragaman dan penegasan mengenai pengertian malpraktek medik ataukelalaian medik, yang tertuang dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dan juga adanya penyeragaman SOP untuk fasilitas kesehatan yang ada dan berlaku umum di seluruh Indonesia.
Selain itu, penerapan audit dokter atau medical audit sangatlah penting untuk menjaga kualitas para dokter, terutama bagi para dokter spesialis. Misalnya para dokter diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dokter berkelanjutan (Continuing Medical Education/CME) agar ilmunya tidak mengalami stagnasi dan selalu mengikuti perkembangan ilmu kedokteran terbaru (medical is long life study). Medical audit akan bagus apabila badan pengawas yang masih ada yaitu Dinas Kesehatan dan IDI dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien. Pengaturan mengenai Medical Audit memang sebaiknya dimasukkan dalam bagian RUU Praktek Kedokteran sebagai kewajiban dokter yang mempunyai akibat hukum.
Hal ini bertujuan untuk mencegah atau meminimalisasi kesalahan diagnosis dokter yang tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik. Sehingga masyarakat Indonesia mendapatkan rasa aman, perlindungan hukum serta pelayanan kesehatan yang terbaik dari para dokter di Indonesia.  Bisa dibayangkan apabila dokter di Indonesia diwajibkan untuk membayar asuransi profesi yang preminya sangat tinggi seperti yang terjadi di Amerika Serikat karena tingginya gugatan malpraktek medik/kelalaian medik. Jangan-jangan masyarakat lagi yang akan menanggung tingginya biaya jasa dokter, karena tingginya premi asuransi profesi dokter tentunya akan mengakibatkan tingginya biaya pengobatan.
Share:
tanggapan
hanya Tuhan yang dapat menghukumdeni 18.08.14 21:41
Terlalu banyak pengalaman saya dikecewakan dokter, dan ternyata orang lain juga sama.. lupakan hukum, hanya doa yang bisa membantu kita/pasien, mudah - mudahan mereka ingat hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa ciptaannya... bukan dokter
kode etik yang lunturDyah Aristi Kusuma Putri 09.06.08 18:36
saya sangat kecewa dengan dokter2 di Indonesia, mereka hanya mau uang pasien saja tanpa memikirkan sebenarnya dokter2 tersebut punya beban mental untuk melakukan yang terbaik buat pasien, bukannya profesi di jadikan suatu bisnis semata karena ini menyangkut nyawa seseorang, bagaimana jika itu terjadi di keluarga mereka. dan manusia sekarang sudah tidak takut akan dosa selama mereka masih jaya.... oleh sebab itu saya sangat kecewa atas perbuatan yang para dokter lakukan pada ayah saya dengan selalu mendiagnosa yang berbeda setiap harinya. kepada siapalagi kami harus percaya jika ada masalah dalam bidang kesehatan kalau bukan kepada dokter? tapi ternyata dokter sendiri tega berbuat seperti itu kepada para pasien.
siapa yang bisa bantu untuk konsultasi onlineario 09.05.07 17:14
beberapa bulan lalu anak saya yabg baru lahir meninggal dunia, padahal kelahirannya sudah bulannya, normal, berat 3,2 panjang 5.0 di sebuah klinik, pada hari kedua dia baru muntah dan di rujuk kerumah sakit dengan diagnosa yang membingungkan dan dokter bedah menganjurkan harus segera ada tindakan operasi tanpa ada pilihan lain selain dipuasakan. awal diagnosa katanya ada penyumbatan tapi hari kedua saya dianjurkan dokter anak untuk koloninlop ternyata baik2 aja artinya tidak ada sumbatan. masuk hari keempat RS tersebut minta anak saya untuk dirujuk kerumah sakit lain, akhirnya saya jalani dan tidak lama setelah itu anak saya meninggal.
Jangan lupa melindungi assets.Josep Rustam 29.04.04 09:36
Sedikit sharing guna menanggapi tulisan Dian. Dokter di Australia sering diingatkan untuk melindungi asset mereka agar ketika terlibat masalah hukum dapat terhindar dari stress yang berlebihan. Hal ini dapat terjadi karena dokter yang tidak melindungi asset mereka bisa saja kehilangan semua hartanya demi membayar ganti rugi, terutama ketika mereka under insured atau ada gap yang harus mereka bayar sendiri karena insurance yang mereka ambil tidak membayar ganti rugi sepenuhnya. Ada beberapa cara perlindungan asset yang diusulkan (tentunya cara ini belum tentu dapat diterapkan di Indonesia). 1. Membentuk Asset Protection Trust Dengan membentuk sebuah trust, seorang dokter dapat mentransfer net Assets-nya dari kekayaan individual ke trust yang dibentuknya. Misalnya, dokter tsb memiliki property seharga $500,000 yang dibeli dengan hutang Bank $200,000, maka dokter tsb dapat menulis cek untuk trust tsb sebanyak $300,000. Dengan demikian, jika terjadi tuntutan hukum yang mengharuskan dokter tsb untuk menggadaikan assetnya, maka yang $300,000 tidak akan disentuh oleh pengadilan. Ini contoh yang disederhanakan, karena dalam dunia nyata harus diperhitungkan pula stamp duty ketika transfer dilakukan, dan kemungkinan pengenaan Capital Gain Tax ketika property tsb dijual. Lumayan jelimet, tapi pantas untuk dicoba. 2. Mentransfer asset/mengubah nama kepemilikan asset (biasanya memakai nama pasangan/suami/istri dokter tsb) Cara ini juga cukup lazim dilakukan oleh para artis atau pelaku bisnis dimana selain mereka mentransfer asset mereka ke nama pasangan/suami/istri, ketika menikah mereka juga melakukan perjanjian pisah harta. Selain bertujuan untuk menjaga harta masing-masing, metode ini juga effektif untuk mencegah gangguan dari tangan pengadilan, kecuali jika orang tsb menyatakan diri bankrut, maka pengadilan akan melihat apakah transfer asset ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari kewajiban sehingga nantinya ada kemungkin transfer tsb dibatalkan. Contoh asset yang sering ditransfer ke nama pasangan/suami/istri adalah saham terdaftar, kas dan term deposit. Kekurangan metode ini adalah kalau pasangan/suami/istri tsb minta cerai, maka pembagian harta berada dalam wewenang Family Court. 3. Menyimpan uang dalam bentuk Superannuation Fund. Dokter dan anggota keluarganya dapat membentuk sebuah Super Fund, lalu mentransfer assets mereka, baik dalam bentuk cash maupun non cash ke Super Fund tsb. Total assets sampai sejumlah $1,1M tidak akan dapat diakses oleh pengadilan. Memang sekarang ini hampir semua profesi memiliki resiko untuk dituntut ke pengadilan, maka risk management bagi penyedia jasa, seperti dokter, pengacara, akuntan, konsultan, auditor, financial planner, dll sangat perlu diterapkan. Salam, Josep.
malpraktekdewi 20.04.04 22:11
saya gemass dgn praktek malpraktek di indonesia, memang benarr budaya "nrimo" turut menghambat proses hukum thd DR yg melakukan malpraktek, ada salah satu DR keluarga saya yg bercerita: bhw dia pernah memeriksa kaki seorang ibu yg membengkak setelah melakukan operasi dan ternyata setelah dioperasi ulang, "ada kain kasa yg tertinggal dikaki ibu tsb", lalu DR tsb menawarkan apakah ibu mau menuntut pihak DR yg meninggalkan kasa di kakinya, DR yg mengoperasi ulang bersedia utk menjadi SAKSI tetapi ibu tsb tidak mau membawa permasalahan ke meja hijau krn menganggap itu sdh jalan hidupnya, saya salut dgn DR hermanto yg bersikap "adil" thd profesinya. (utk para DR: mengakui kesalahan tidak membuat harga diri anda JATUH) Praktek malpraktek di indonesia sdh keterlaluan dan membuat masy.ketakutan,saya coba memberikan poling sederhana: dalam jangka waktu 6 bulan,dari 5 keluarga saya yg sakit,2 diantaranya tlh slh di diagnosis DR di indonesia, oma saya dinyatakan sakit jantung setelah didiagnosis ulang di sin,ternyata sakit ginjal. begitupun dengan keponakan saya. di RS yang terbilang "high class" saja dapat terjadi malpraktek, apalagi sekelas puskesmas, mungkin UNIV.kedokteran di indonesia terlalu gampang meluluskan muridnya atau kurikulumnya yg sdh uzur sehingga lahir DR yang sembrono dan kurang ilmu. kedudukan DR yg lbh tinggi dr pasien, hrs diseimbangkan dgn peraturan dan kontrol yg ketat.
Untouchable by lawWida 20.04.04 17:26
Membaca tulisan anda, saya menjadi berpikir bahwa posisi dokter adalah posisi yang untouchable dan tidak bisa dijamah oleh hukum (kebal hukum) meskipun dokter tersebut melakukan suatu tindakan yang nota bene telah menimbulkan kerugian bagi pasiennya, tetap saja tidak dapat terjerat oleh hukum karena ada KODEKI, MKEK. Hal ini membuat saya menjadi ngeri untuk menjadi pasien dan membayangkan bahwa apabila dokter saya telah salah dalam mendiagnosa saya atau saya mengalami suatu pengobatan yang mencelakakan (injurious treatment), hukum tidak melindungi saya dan saya akan mengalami kesulitan untuk menuntut hak saya sebagai pasien untuk meminta ganti rugi. Padahal kenyataannya kita memiliki seperangkat peraturan yang memberikan hak kepada kita untuk menuntut ganti kerugian terhadap malpraktek medis yang merugikan kita, baik itu merupakan malpraktek yang disengaja, maupun malpraktek yang merupakan kelalaian dokter (dimana saya kurang setuju dengan pendapat penulis bahwa kelalaian dokter bukanlah malpraktek) (pasal 1365-1366 KUHPerdata). Hukum Pidana juga telah mengatur tindakan malpraktek medis seperti euthanasia, aborsi, kealpaan yang menimbulkan luka-luka. Namun jalur hukum tersebut di atas biasanya mengalami kesulitan pada proses pembuktian karena adanya unsur ‘kekompakan’ antara sesama dokter, seperti yang tercantum dalam KODEKI, bahwa "teman sejawat akan saya perlakukan sebagai saudara kandung", sehingga menjadikan sifatnya menjadi untouchable by law. Oleh karena itu menghadapi polemik di bidang kedokteran ini, tidak hanya dibutuhkan peraturan yang lebih komprehensif mengenai praktek kedokteran yang mengatur tidak cuma ketegasan dari suatu definisi malpraktek, but bottom line adalah bagaimana perundangan tersebut dapat membuat posisi dokter menjadi touchable by law, atau dengan kata lain optimalkan fungsi MKEK, sehingga bukan hanya untuk menutupi kesalahan para dokter saja!!!
info mengenai proses peradilan gugatan malpraktekPenulis 20.04.04 15:43
Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada rekan2 yang telah meluangkan waktunya untuk membaca dan memberikan tanggapan terhadap tulisan ini.Sekedar info saja, menurut informasi yang saya dapat dari DR.Rosa Pangaribuan,S.H.,M.H.,bahwa ternyata Perma No.2/2003 tentang Prosedur Mediasi telah efektif di PN. Dan seperti yang telah diberitakan di hukumonline 7 April 2004 yang lalu, bahwa PN Jakarta Pusat telah meminta para pihak dalam kasus gugatan malpraktek yang diajukan oleh Indra Syafri Yacub terhadap RSCM, RS Pelni Petamburan dan RS PMI Bogor untuk menyelesaikan terlebih dahulu lewat mediasi. Jadi kita lihat saja apakah kasus gugatan malpraktek di Indonesia akan berlanjut sampai ke meja hijau atau selesai secara damai (lagi) dan adil dalam proses mediasi.
Hal-hal lainrudy 20.04.04 13:47
Salut atas materi tulisan yang rekan-rekan penulis sampaikan didalam kolom ini. Pada kesempatan ini saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal lain yang juga memberikan dampak yang sangat besar atas performance dari dokter-dokter kita yakni tekanan dari pihak-pihak diluar dari pribadi si dokter sendiri. Yakni pihak rumah sakit, pihak produsen obat dan pihak produsen alat-alat rumah sakit. Seperti yang terjadi didalam kasus dari ibu Anne dimana salah satu alasan mengapa pihak rumah sakit di Jakarta menyarankan bahwa untuk mengatasi sakit ibu Anne tersebut adalah dengan melakukan tindakan operasi pengangkatan rahim dan bukan dengan proses penyinaran sebagaimana yang dilakukan di Singapura adalah karena alat tersebut tidak terdapat di rumah sakit ybs. Sehingga adalah sangat mungkin sekali keputusan dari dokter ibu Anne di Jakarta tersebut memberikan obat antibiotik dosis tinggi dengan merek tertentu adalah juga karena adanya insentif yang dapat si dokter peroleh dari produsen obat apabila produknya dipergunakan. Demikian juga tindakan operasi tersebut disampaikan adalah karena apabila fasilitas kamar operasi tersebut dipergunakan maka si dokter tersebut akan memperoleh kredit tertentu dari pihak rumah sakit dimana ia berpraktek. Dari kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa tingkat profesionalisme dari si dokter juga sangat dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berada diluar dari diri sang dokter. Namun saya berpendapat bahwa keadaan yang dialami dokter sebagaimana yang saya kemukakan diatas tidak hanya dialami oleh dokter-dokter di Indonesia, namun juga dialami oleh dokter-dokter diseluruh dunia. Sehingga saya sangat setuju dengan dengan pendapat para penulis bahwa perlunya dibuat suatu standar prosedur operasi bagi para dokter didalam melakukan pemeriksaan medis yang berlaku umum. Dengan adanya ukuran tersebut maka kita pihak awam dan pasien dapat memiliki kesempatan yang fair untuk mengetahui apakah tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tersebut adalah sudah benar atau belum. Sehingga dari sisi hukumnya kita dapat mengetahui apakah si dokter tersebut telah melakukan malpraktek atau tidak. Demikian pendapat singkat saya semoga dapat menjadi masukan bagi kita semua dan khususnya bagi rekan-rekan penulis.
contoh dokter di SingapuraIndajani K. Halim 20.04.04 10:34
Masukan buat saya, yang penting negara Indonesia sampai sekarang tidak berbuat apa2 mengenai “profesi kedokteran karena tidak adanya undang2 malapraktek. Jadi orang cenderung berobat ke negara lain yang lebih bertanggung jawab terhadap nyawa orang dan dimana hukum diterapkan. Para dokter dinegara Singapura takut sekali digugat karena malapraktek karena itu mereka hati2 sekali. Tidak jarang hanya karena kesalahan administrasi sedikit, seperti yang saya baca di Straits Time di Singapore, Professor, kepala Rumah sakit Pemerintah meminta maaf kepada penulis yang menulis disurat pembaca. Pokoknya jangan takut complain, selalu akan ditanggapi. Apalagi kalau dengan surat.
sulit menggugat dokterThomas Hengky Prabowo 19.04.04 19:24
Dian, sebenarnya gugatan malpraktek sudah pernah dimasukin ke PN Jawa Tengah sekitar tahun 1979-an atau 1980-an awal, yang menggugat seorang dokter dari (semacam) puskesmas kota Pati yang diduga telah melakukan malpraktek karena telah salah memberikan suatu suntikan kepada pasien yang pada akhirnya membuat pasien itu meninggal (karena ternyata pasien tersebut alergi terhadap obat yang disuntikan itu). Ceritanya panjang banget kalo ditulis di sini. Gue juga pernah baca bukunya Fred Ameln, untuk kasus malpraktek di Indonesia, untuk mengadukannya dan membuat laporan ke polisi akan sulit karena: 1. Begitu kita lapor ke polisi, maka polisi akan memanggil terlapor dan terlapor akan menjelaskan apa yang telah dia lakukan pada pasien dengan menggunakan istilah-istilah kesehatan/kedokteran yang tidak dipahami oleh polisi tersebut.Jadi ketika di BAP, polisilah yang akan mengiyakan terus (orang dia enggak tau apa-apa). 2. Di Indonesia, profesi dokter masih sangat "agung" terutama bagi masyarakat pedesaan yang akan mengamini apa yang dokter (bahkan mantri) katakan. Kalau lapor ke IDI, paling mereka kena sanksi administratif oleh IDI atau dikeluarkan dan dilarang berpraktek oleh IDI. Dan harus diingat bahwa engga semua dokter masuk dalam IDI.
First Previous 1 2 3 4 5 Next Last

Kirim Tanggapan
Nama
Email
Judul
Tanggapan


Gambar tantangan reCAPTCHA





Dapatkan kata pengujian baru
Dapatkan kata pengujian berbentuk audio
Bantuan