Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 30 Maret 2015

Kesalahan Diagnosis Dokter: Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-kah?


Negara Pam Sam sempat dilanda kehebohan ketika sekumpulan dokter berdemonstrasi di beberapa negara bagian. Mereka memprotes kenaikan premi asuransi yang dijadikan jaminan dalam menghadapi kasus malpraktek medik atau kelalaian medik, seandainya mereka melakukan kesalahan diagnosis.
(*)Advokat di Jakarta;(**)Residen Program Spesialis di sebuah Universitas Negeri di Moskwa, Rusia
Dibaca: 19554 Tanggapan: 41
Para dokter tersebut bahkan rela meninggalkan buku resep obat dan tempat praktek mereka serta menggantinya dengan papan protes. Mereka juga turun ke jalan sebagai wujud dari aksi protes mereka terhadap kenaikan premi asuransi tersebut. (USA TODAY,18 Januari 2004).

Tentu tidak akan pernah terbayangkan oleh masyarakat bahkan oleh para dokter di Indonesia untuk mengikuti jejak rekan sejawat mereka di Amerika Serikat, yang sampai harus  turun ke jalan akibat keharusan membayar premi asuransi profesi dokter.

Namun akhir-akhir ini, karena maraknya kasus dugaan malpraktek medik atau kelalaian medik di Indonesia, ditambah keberanian pasien yang menjadi korban untuk menuntut hak-haknya, para dokter seakan baru mulai 'sibuk'  berbenah diri. Terutama dalam menghadapi kasus malpraktek. 'Kesibukan' ini terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, dan meningkatnya kesadaran hukum di masyarakat menuntut keadilan.

Mengamati pemberitan di media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpaktek medik dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Salah satu dugaan malpraktek yang menonjol adalah kasus yang menimpa Augustianne Sinta Dame Marbun, istri pengacara kondang Hotman Paris Hutapea. Ia mengalami kerusakan ginjal yang diduga diakibatkan pemakaian antibiotik dosis tinggi (Suara Pembaruan, 9 Desember 2003).

Anne, begitu Augustianne biasa disapa, divonis oleh seorang dokter spesialis kandungan harus menjalani pengangkatan rahim. Sebelum dilakukan operasi, ia harus meminum antibiotik dosis tinggi tiga kali sehari selama tujuh hari. Setelah meminum antibiotik tersebut, kondisi Anne justru makin buruk. Karena cemas dengan kondisi istrinya, Hotman Paris membawanya ke rumah sakit untuk memperoleh second opinion. Disitu baru terungkap bahwa antibiotik yang diminumnya ternyata membawa kerusakan pada ginjalnya. Dosis yang diberikan kepada Anne dinilai terlalu tinggi. Akhirnya ia dibawa ke Singapura untuk menjalani pengobatan. Nyatanya, setelah menjalani pemeriksaan di salah satu rumah sakit terkemuka di sana, Anne tak perlu menjalani operasi pengangkatan rahim. Cukup dengan pengobatan sinar laser selama 10 menit.
Kasus di atas tentunya sangat mengejutkan masyarakat awam. Keterkejutan tersebut semakin bertambah--apabila memang benar telah terjadi kesalahan diagnosis--mengingat reputasi dokter ahli kandungan yang menangani kasus tersebut sangat baik dan terpandang di Indonesia. Ironisnya lagi, kasus seperti ini bukan hanya sekali dua kali terjadi, tapi sudah sangat sering terjadi di Indonesia, bahkan telah banyak memakan korban jiwa. Banyak masyarakat yang berobat bukan menjadi sembuh, tapi malah menjadi cacat seumur hidup, bahkan meninggal dunia. Hal tersebut terjadi semata-mata adalah akibat kesalahan diagnosis dokter dalam penanganan terhadap pasiennya.
Anne adalah salah satu dari sekian banyak pasien di Indonesia yang mengalami pengalaman buruk akibat kesalahan diagnosis dokter. Kebetulan Anne sang pasien tersebut adalah istri pengacara ternama, sehingga kasus ini demikian gamblang terangkat ke media konsumsi masyarakat. Namun, bagaimana kalau hal ini terjadi pada pasien yang berasal dari golongan masyarakat miskin?
Tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik-kah dokter yang melakukan kesalahan diagnosis tersebut? Menurut Dr. Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), bila ada standarnya, salah diagnosis bisa diduga malpraktek. Sebab, dari salah diagnosis bisa berakibat salah terapi. Salah terapi bisa berakibat fatal. Banyak pasien meninggal di tangan dokter, dan ironisnya di Indonesia belum ada hukum yang mengatur standar profesi kedokteran dalam melakukan kesalahan profesi. Sehingga, sulit membedakan antara malpraktek dengan kelalaian, kecelakaan dan kegagalan. Apalagi pemahaman malpraktek pun masih belum seragam. Sehingga kerap pasien menuding terjadi malpraktek, sedangkan dokter membantahnya (Gatra, 13 Maret 2004).
Sementara itu Prof. dr.Farid Anfasa Moeloek, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berpendapat, batasan tegas tenaga medis melakukan malpraktek adalah jika tindakan tenaga medis tersebut sudah melanggar standar prosedur. Masalahnya, setiap rumah sakit memiliki Standar Operating Procedure (SOP) yang berbeda-beda, tergantung pada fasilitas yang dimiliki rumah sakit. Sehingga mengenai tuntutan malpraktek harus dilihat kasus per kasus. Tidak bisa digeneralisasi hal seperti apa yang menjadi malpraktek, dan mana yang bukan. (Kompas, 23 Januari 2003).
Kenyataan diatas sudah barang tentu membuat masyarakat 'ngeri' dengan dokter. Kengerian masyarakat tersebut bahkan bisa mengarah menjadi suatu ketidakpercayaan masyarakat terhadap dokter di Indonesia. Kengerian ini makin bertambah dengan kenyataan sulitnya menyeret dokter ke meja hijau karena tidak adanya suatu keseragaman tentang pemahaman malpraktek, karena ketiadaan hukum yang mengatur standar profesi kedokteran. Akhirnya, kalangan berduit memilih untuk berobat ke luar negeri seperti Singapura, Malaysia atau Australia, bahkan sampai ke negeri Cina.
Berdasarkan data LBH Jakarta, setiap tahun sedikitnya sepuluh orang melakukan pengaduan kepada LBH karena tindakan dokter atau petugas kesehatan yang merugikan. Tindakan tersebut mengakibatkan kecacatan atau kematian pasien (www.kompas.com, 28 Januari 2003). Sepengetahuan penulis, sebagian besar dari kasus yang dilaporkan tersebut telah diselesaikan secara damai.
Sementara di Amerika Serikat untuk tahun 2000 saja, terdapat 86.640 kasus tuntutan malpraktek dan sebagian besar juga diselesaikan melalui mediasi (www.medicalmalpractice.com). Hal ini membuat masyarakat semakin mencap dokter sebagai profesi yang kebal hukum. Kenyataan ini tentunya tidak hanya merugikan masyarakat, namun dapat merugikan profesi dokter sendiri.
Sungguh malang nasib para dokter yang menjalankan profesinya yang mulia. Di satu sisi profesi ini bukan pelaku usaha karena tujuannya bukanlah untuk mencari keuntungan semata. Profesi ini hanya memperoleh penghargaan atas upayanya dalam menyembuhkan pasien. Namun disisi lain ada resiko besar yang dihadapinya apabila dalam usahanya untuk menyembuhkan pasien. Entah karena takdir atau karena kelalaiannya (human error). Apalagi, bila tindakannya tersebut dinilai tergolong malpraktek medik, sehingga dia harus menghadapi tuntutan, baik perdata atau pidana.
Tentunya hal ini menimbulkan ketakutan tersendiri bagi para dokter dalam menjalankan profesinya, mengingat mereka adalah manusia biasa yang bisa berbuat salah. Dokter hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkan pasien, tapi tidak bisa menjanjikan kesembuhannya. Apabila dokter dituntut baik secara perdata maupun pidana, maka untuk menyelesaikannya perlu diadakan pemeriksaan perkara lebih lanjut di pengadilan. Dampaknya tentu saja dapat merusak citra dan nama baik dokter sebagai profesi yang luhur dan mulia, yang tidak semata-mata hanya mencari keuntungan, terutama bersifat kemanusiaan dan sosial.
Berangkat dari kasus tersebut diatas, maka muncul pertanyaan apakah kesalahan diagnosis dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktek medik atau kelalaian medik? Apakah mungkin dibentuk suatu hukum yang mengatur mengenai standar profesi kedokteran dalam rangka memberikan perlindungan hukum baik bagi masyarakat maupun profesi kedokteran sendiri? Untuk mempersempit ruang lingkup, penulis hanya membatasi tulisan ini dalam konteks hubungan dokter dan pasien, tidak mencakup ruang lingkup rumah sakit, laboratorium, dan tenaga medis selain dokter.
Meski berita yang membahas mengenai malpraktek medik atau kelalaian medik begitu marak, namun, jarang yang memaparkan pengertian mengenai hal tersebut. Oleh sebab itu, untuk memberikan pengertian yang lebih baik, penulis terlebih dahulu memaparkan beberapa pengertian malpraktek medik atau kelalaian medik.
Prof.dr. M. Jusuf Hanafiah, SpOG(K) memberikan pengertian tentang malpraktek medik yaitu kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini ialah sikap kurang hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik.
Lebih jauh lagi, Hanafiah berpendapat bahwa kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum De minimis noncurat lex yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal.
Adapun dokter dapat dikatakan melakukan malpraktek apabila dokter kurang menguasai ilmu kedokteran yang berlaku umum, memberikan pelayanan dibawah standar, melakukan kelalaian berat, atau melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.:
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian, maka penggugat harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut: adanya kewajiban dokter terhadap pasien, dokter melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai, penggugat menderita kerugian, dan kerugian tersebut disebabkan tindakan di bawah standar.
Sedangkan menurut Drs. Fred Ameln, S.H., seorang dokter melakukan malpraktek apabila ia melakukan suatu tindakan medik yang salah (wrong-doing) atau ia tidak atau tidak cukup mengurus pengobatan/perawatan pasien (neglect the patient by giving not or not enough care to the patient).
Kemudian J. Guwandi, S.H. mengatakan bahwa  malpraktek adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, bersifat stigmatis. Sebenarnya istilah malpraktek tidak hanya terjadi pada profesi kedokteran saja. Namun entah mengapa, ternyata dimana-mana, bahkan di luar negeri, istilah malpraktek selalu pertama-tama dikaitkan kepada profesi medis.
Ada beberapa penulis yang mengatakan bahwa sukar untuk mengadakan pembedaan antara negligence dan malpractice. Menurut pendapat mereka, lebih baik malpractice dianggap sinonim saja dengan professional negligence (Creighton, 167). Memang di dalam literatur, penggunaan kedua istilah itu sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama. Malpractice is a term which is increasingly widely used as a synonym for medical negligence (Mason-McCall Smith, 339).
Berbeda dengan pengertian-pengertian yang telah dipaparkan sebelumnya, J. Guwandi, S.H. tidak sependapat dengan pendapat yang mengatakan malpraktek lebih baik dianggap sinonim dengan kelalaian. Menurutnya, malpraktek tidaklah sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktek, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian.
Malpraktek mempunyai pengertian yang lebih luas daripada kelalaian. Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, onzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya suatu motif (mens rea, guilty mind). Sedangkan arti kelalaian lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannya.
Dari beberapa pengertian dan pendapat dari para ahli hukum kedokteran di atas, terlihat adanya perbedaan dalam melihat pengertian dari malpraktek dan kelalaian dalam profesi kedokteran. Namun terlepas apakah malpraktek medik dan kelalaian medik merupakan suatu pengertian yang sama atau berbeda, penulis berpendapat bahwa pada intinya pengertian-pengertian tersebut di atas adalah sama. Yaitu kesalahan dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasiennya, sengaja atau tidak sengaja tindakan medik tersebut dilakukan oleh sang dokter tersebut.
Namun ada baiknya pengertian malpraktek medik dan kelalaian medik di Indonesia diseragamkan dan diatur secara jelas serta tertuang dalam suatu peraturan perundang-undangan atau aturan tertulis. Terlepas apakah nantinya akan dibedakan antara pengertian malpraktek medik dan kelalaian medik, atau menjadi satu pengertian tanpa pembedaan.
Pengaturan ini sangatlah penting guna terciptanya suatu kepastian hukum bagi masyarakat dan dokter serta untuk menjamin rasa keadilan. Para dokter tidak dapat menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya, sedangkan pasien tidak dapat sembarangan menggugat dokter yang menanganinya. Terlebih apabila terlihat jelas bahwa tindakan medik yang dilakukan oleh dokter yang bersangkutan telah memenuhi UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Standar Profesi Kedokteran yang berlaku.
Mengenai kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter termasuk malpraktek medik/kelalaian medik atau bukan, penulis berpendapat bahwa sepanjang seorang dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasiennya memenuhi UU Kesehatan, KODEKI (lihat Pasal 1,2,6,10 dan 11) dan Standar Profesi Kedokteran, maka sekalipun dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis, tindakan dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktek medik/kelalaian medik.
Setiap kasus kesalahan diagnosis dokter yang mencelakakan pasiennya yang selama ini terjadi di Indonesia selalu dibawa ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) di bawah naungan IDI, baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang.
Memang KODEKI hanya mencantumkan tindakan apa yang harus dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Namun penerapan sanksi apabila terjadi pelanggaran atas KODEKI tidak diatur secara jelas. Hanya sanksi etika dan moral yang melekat dalam setiap pelanggaran KODEKI.
Jadi MKEK hanya memutuskan persoalan etika profesi kedokteran, mengingat kapasitasnya yang bukan merupakan lembaga pengadilan medik yang berwenang secara hukum untuk memutuskan apakah suatu kesalahan diagnosis adalah tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik. Paling banter MKEK hanya bisa memberikan pernyataan apakah seorang dokter yang melakukan kesalahan diagnosis telah melakukan tindakan medik sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU Kesehatan, KODEKI dan Standar Profesi Kedokteran yang ada atau tidak.
Mengenai perumusan Standar Profesi Kedokteran (medische profesionele standaard) menurut Leenen (seperti yang telah diterjemahkan oleh Drs. Fred Ameln, S.H.), adalah berbuat secara teliti dan seksama menurut ukuran medik, sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata (average) dibanding dengan dokter dari ketagori keahlian medik yang sama, dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional dengan tujuan kongkrit tindakan/perbuatan medik tersebut).
Menurut Drs. Fred Ameln, S.H., perumusan standar di atas harus dipakai untuk menguji apakah suatu perbuatan medik merupakan malpraktek atau tidak. Ternyata, Drs. Fred Ameln, S.H. berpendapat, unsur perumusan Standar Profesi Kedokteran menurut Leenen adalah yang paling lengkap dan memiliki banyak unsur yang sangat relevan.
Untuk menilai apakah kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter termasuk kategori malpraktek medik atau kelalaian medik, dapat ditelaah melalui standar di atas sebagai berikut: Pertama, dokter harus bekerja secara teliti dan seksama. Apabila memang kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter adalah akibat ketidaktelitiannya, misalnya salah dalam membaca hasil pemeriksaan laboratorium pasiennya, maka dokter yang bersangkutan telah memenuhi unsur kelalaian.
Kedua, dokter dalam mengambil tindakan harus sesuai dengan ukuran ilmu medik. Apabila dokter tersebut telah melakukan tindakan medik sesuai dengan ukuran ilmu medik dan terjadi kesalahan diagnosis, maka kesalahan dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai malpraktek medik atau kelalaian medik.
Ketiga, kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama. Keempat, dalam situasi kondisi yang sama. Kelima, sarana upaya yang sebanding dengan tujuan kongkrit tindakan medik tersebut. Bahwa menurut Drs. Fred Ameln, S.H., tindakan medik tidak saja harus sesuai dengan standar medik saja, akan tetapi harus pula ditujukan pada suatu tujuan medik. Tindakan diagnosis maupun tindakan terapeutik harus secara nyata ditujukan pada perbaikan situasi pasien. Apabila jelas terlihat bahwa seorang dokter telah melakukan upaya medik yang sangat maksimal demi kesembuhan pasien, namun ternyata dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis, maka tindakan medik dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai malpraktek medik atau kelalaian medik.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa kondisi setiap pasien adalah berbeda-beda, walaupun penyakit yang dideritanya sama. Sekali lagi dokter bukanlah Tuhan, namun hanyalah manusia biasa yang mencoba untuk memberikan pertolongan berdasarkan ilmu yang dikuasainya, UU Kesehatan, KODEKI serta Standar Profesi Kedokteran yang ada.
Selain itu, menurut Drs. Fred Ameln, S.H. bahwa harus disadari bahwa sulit sekali memberikan kriteria atau standar yang pasti untuk dipakai dalam setiap tindakan medik karena perbedaan situasi kondisi fisik pasien. Kondisi fisik para pasien yang berbeda-beda yang dapat menghasilkan reaksi, terutama terhadap obat, yang berbeda walaupun diberikan terapi yang sama sesuai dengan standar umum yang berlaku. Maka dari itu penulis tetap berpendapat bahwa sekalipun dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis namun dia sudah memenuhi UU Kesehatan, KODEKI dan Standar Profesi Kedokteran yang ada dan berlaku, maka tindakan medik dokter tersebut bukanlah suatu tindakan malpraktek medik atau kelalaian medik.
Apabila ternyata kesalahan diagnosis dokter tersebut tergolong malpraktek medik/tindakan medik atau bukan, dan  tidak terbukti secara jelas dan gamblang, sementara pasien ternyata menuntut ganti rugi dengan menggugat sang dokter baik secara perdata maupun pidana, maka hal ini harus dibuktikan lebih lanjut melalui lembaga peradilan yang ada di Indonesia, dengan tetap menganut asas praduga tak bersalah (presumption of innocent).
Untuk memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum baik bagi masyarakat dan para dokter, seperti yang telah dipaparkan diatas, penulis mengusulkan perlunya penyeragaman dan penegasan mengenai pengertian malpraktek medik ataukelalaian medik, yang tertuang dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dan juga adanya penyeragaman SOP untuk fasilitas kesehatan yang ada dan berlaku umum di seluruh Indonesia.
Selain itu, penerapan audit dokter atau medical audit sangatlah penting untuk menjaga kualitas para dokter, terutama bagi para dokter spesialis. Misalnya para dokter diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dokter berkelanjutan (Continuing Medical Education/CME) agar ilmunya tidak mengalami stagnasi dan selalu mengikuti perkembangan ilmu kedokteran terbaru (medical is long life study). Medical audit akan bagus apabila badan pengawas yang masih ada yaitu Dinas Kesehatan dan IDI dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien. Pengaturan mengenai Medical Audit memang sebaiknya dimasukkan dalam bagian RUU Praktek Kedokteran sebagai kewajiban dokter yang mempunyai akibat hukum.
Hal ini bertujuan untuk mencegah atau meminimalisasi kesalahan diagnosis dokter yang tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik. Sehingga masyarakat Indonesia mendapatkan rasa aman, perlindungan hukum serta pelayanan kesehatan yang terbaik dari para dokter di Indonesia.  Bisa dibayangkan apabila dokter di Indonesia diwajibkan untuk membayar asuransi profesi yang preminya sangat tinggi seperti yang terjadi di Amerika Serikat karena tingginya gugatan malpraktek medik/kelalaian medik. Jangan-jangan masyarakat lagi yang akan menanggung tingginya biaya jasa dokter, karena tingginya premi asuransi profesi dokter tentunya akan mengakibatkan tingginya biaya pengobatan.
Share:
tanggapan
hanya Tuhan yang dapat menghukumdeni 18.08.14 21:41
Terlalu banyak pengalaman saya dikecewakan dokter, dan ternyata orang lain juga sama.. lupakan hukum, hanya doa yang bisa membantu kita/pasien, mudah - mudahan mereka ingat hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa ciptaannya... bukan dokter
kode etik yang lunturDyah Aristi Kusuma Putri 09.06.08 18:36
saya sangat kecewa dengan dokter2 di Indonesia, mereka hanya mau uang pasien saja tanpa memikirkan sebenarnya dokter2 tersebut punya beban mental untuk melakukan yang terbaik buat pasien, bukannya profesi di jadikan suatu bisnis semata karena ini menyangkut nyawa seseorang, bagaimana jika itu terjadi di keluarga mereka. dan manusia sekarang sudah tidak takut akan dosa selama mereka masih jaya.... oleh sebab itu saya sangat kecewa atas perbuatan yang para dokter lakukan pada ayah saya dengan selalu mendiagnosa yang berbeda setiap harinya. kepada siapalagi kami harus percaya jika ada masalah dalam bidang kesehatan kalau bukan kepada dokter? tapi ternyata dokter sendiri tega berbuat seperti itu kepada para pasien.
siapa yang bisa bantu untuk konsultasi onlineario 09.05.07 17:14
beberapa bulan lalu anak saya yabg baru lahir meninggal dunia, padahal kelahirannya sudah bulannya, normal, berat 3,2 panjang 5.0 di sebuah klinik, pada hari kedua dia baru muntah dan di rujuk kerumah sakit dengan diagnosa yang membingungkan dan dokter bedah menganjurkan harus segera ada tindakan operasi tanpa ada pilihan lain selain dipuasakan. awal diagnosa katanya ada penyumbatan tapi hari kedua saya dianjurkan dokter anak untuk koloninlop ternyata baik2 aja artinya tidak ada sumbatan. masuk hari keempat RS tersebut minta anak saya untuk dirujuk kerumah sakit lain, akhirnya saya jalani dan tidak lama setelah itu anak saya meninggal.
Jangan lupa melindungi assets.Josep Rustam 29.04.04 09:36
Sedikit sharing guna menanggapi tulisan Dian. Dokter di Australia sering diingatkan untuk melindungi asset mereka agar ketika terlibat masalah hukum dapat terhindar dari stress yang berlebihan. Hal ini dapat terjadi karena dokter yang tidak melindungi asset mereka bisa saja kehilangan semua hartanya demi membayar ganti rugi, terutama ketika mereka under insured atau ada gap yang harus mereka bayar sendiri karena insurance yang mereka ambil tidak membayar ganti rugi sepenuhnya. Ada beberapa cara perlindungan asset yang diusulkan (tentunya cara ini belum tentu dapat diterapkan di Indonesia). 1. Membentuk Asset Protection Trust Dengan membentuk sebuah trust, seorang dokter dapat mentransfer net Assets-nya dari kekayaan individual ke trust yang dibentuknya. Misalnya, dokter tsb memiliki property seharga $500,000 yang dibeli dengan hutang Bank $200,000, maka dokter tsb dapat menulis cek untuk trust tsb sebanyak $300,000. Dengan demikian, jika terjadi tuntutan hukum yang mengharuskan dokter tsb untuk menggadaikan assetnya, maka yang $300,000 tidak akan disentuh oleh pengadilan. Ini contoh yang disederhanakan, karena dalam dunia nyata harus diperhitungkan pula stamp duty ketika transfer dilakukan, dan kemungkinan pengenaan Capital Gain Tax ketika property tsb dijual. Lumayan jelimet, tapi pantas untuk dicoba. 2. Mentransfer asset/mengubah nama kepemilikan asset (biasanya memakai nama pasangan/suami/istri dokter tsb) Cara ini juga cukup lazim dilakukan oleh para artis atau pelaku bisnis dimana selain mereka mentransfer asset mereka ke nama pasangan/suami/istri, ketika menikah mereka juga melakukan perjanjian pisah harta. Selain bertujuan untuk menjaga harta masing-masing, metode ini juga effektif untuk mencegah gangguan dari tangan pengadilan, kecuali jika orang tsb menyatakan diri bankrut, maka pengadilan akan melihat apakah transfer asset ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari kewajiban sehingga nantinya ada kemungkin transfer tsb dibatalkan. Contoh asset yang sering ditransfer ke nama pasangan/suami/istri adalah saham terdaftar, kas dan term deposit. Kekurangan metode ini adalah kalau pasangan/suami/istri tsb minta cerai, maka pembagian harta berada dalam wewenang Family Court. 3. Menyimpan uang dalam bentuk Superannuation Fund. Dokter dan anggota keluarganya dapat membentuk sebuah Super Fund, lalu mentransfer assets mereka, baik dalam bentuk cash maupun non cash ke Super Fund tsb. Total assets sampai sejumlah $1,1M tidak akan dapat diakses oleh pengadilan. Memang sekarang ini hampir semua profesi memiliki resiko untuk dituntut ke pengadilan, maka risk management bagi penyedia jasa, seperti dokter, pengacara, akuntan, konsultan, auditor, financial planner, dll sangat perlu diterapkan. Salam, Josep.
malpraktekdewi 20.04.04 22:11
saya gemass dgn praktek malpraktek di indonesia, memang benarr budaya "nrimo" turut menghambat proses hukum thd DR yg melakukan malpraktek, ada salah satu DR keluarga saya yg bercerita: bhw dia pernah memeriksa kaki seorang ibu yg membengkak setelah melakukan operasi dan ternyata setelah dioperasi ulang, "ada kain kasa yg tertinggal dikaki ibu tsb", lalu DR tsb menawarkan apakah ibu mau menuntut pihak DR yg meninggalkan kasa di kakinya, DR yg mengoperasi ulang bersedia utk menjadi SAKSI tetapi ibu tsb tidak mau membawa permasalahan ke meja hijau krn menganggap itu sdh jalan hidupnya, saya salut dgn DR hermanto yg bersikap "adil" thd profesinya. (utk para DR: mengakui kesalahan tidak membuat harga diri anda JATUH) Praktek malpraktek di indonesia sdh keterlaluan dan membuat masy.ketakutan,saya coba memberikan poling sederhana: dalam jangka waktu 6 bulan,dari 5 keluarga saya yg sakit,2 diantaranya tlh slh di diagnosis DR di indonesia, oma saya dinyatakan sakit jantung setelah didiagnosis ulang di sin,ternyata sakit ginjal. begitupun dengan keponakan saya. di RS yang terbilang "high class" saja dapat terjadi malpraktek, apalagi sekelas puskesmas, mungkin UNIV.kedokteran di indonesia terlalu gampang meluluskan muridnya atau kurikulumnya yg sdh uzur sehingga lahir DR yang sembrono dan kurang ilmu. kedudukan DR yg lbh tinggi dr pasien, hrs diseimbangkan dgn peraturan dan kontrol yg ketat.
Untouchable by lawWida 20.04.04 17:26
Membaca tulisan anda, saya menjadi berpikir bahwa posisi dokter adalah posisi yang untouchable dan tidak bisa dijamah oleh hukum (kebal hukum) meskipun dokter tersebut melakukan suatu tindakan yang nota bene telah menimbulkan kerugian bagi pasiennya, tetap saja tidak dapat terjerat oleh hukum karena ada KODEKI, MKEK. Hal ini membuat saya menjadi ngeri untuk menjadi pasien dan membayangkan bahwa apabila dokter saya telah salah dalam mendiagnosa saya atau saya mengalami suatu pengobatan yang mencelakakan (injurious treatment), hukum tidak melindungi saya dan saya akan mengalami kesulitan untuk menuntut hak saya sebagai pasien untuk meminta ganti rugi. Padahal kenyataannya kita memiliki seperangkat peraturan yang memberikan hak kepada kita untuk menuntut ganti kerugian terhadap malpraktek medis yang merugikan kita, baik itu merupakan malpraktek yang disengaja, maupun malpraktek yang merupakan kelalaian dokter (dimana saya kurang setuju dengan pendapat penulis bahwa kelalaian dokter bukanlah malpraktek) (pasal 1365-1366 KUHPerdata). Hukum Pidana juga telah mengatur tindakan malpraktek medis seperti euthanasia, aborsi, kealpaan yang menimbulkan luka-luka. Namun jalur hukum tersebut di atas biasanya mengalami kesulitan pada proses pembuktian karena adanya unsur ‘kekompakan’ antara sesama dokter, seperti yang tercantum dalam KODEKI, bahwa "teman sejawat akan saya perlakukan sebagai saudara kandung", sehingga menjadikan sifatnya menjadi untouchable by law. Oleh karena itu menghadapi polemik di bidang kedokteran ini, tidak hanya dibutuhkan peraturan yang lebih komprehensif mengenai praktek kedokteran yang mengatur tidak cuma ketegasan dari suatu definisi malpraktek, but bottom line adalah bagaimana perundangan tersebut dapat membuat posisi dokter menjadi touchable by law, atau dengan kata lain optimalkan fungsi MKEK, sehingga bukan hanya untuk menutupi kesalahan para dokter saja!!!
info mengenai proses peradilan gugatan malpraktekPenulis 20.04.04 15:43
Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada rekan2 yang telah meluangkan waktunya untuk membaca dan memberikan tanggapan terhadap tulisan ini.Sekedar info saja, menurut informasi yang saya dapat dari DR.Rosa Pangaribuan,S.H.,M.H.,bahwa ternyata Perma No.2/2003 tentang Prosedur Mediasi telah efektif di PN. Dan seperti yang telah diberitakan di hukumonline 7 April 2004 yang lalu, bahwa PN Jakarta Pusat telah meminta para pihak dalam kasus gugatan malpraktek yang diajukan oleh Indra Syafri Yacub terhadap RSCM, RS Pelni Petamburan dan RS PMI Bogor untuk menyelesaikan terlebih dahulu lewat mediasi. Jadi kita lihat saja apakah kasus gugatan malpraktek di Indonesia akan berlanjut sampai ke meja hijau atau selesai secara damai (lagi) dan adil dalam proses mediasi.
Hal-hal lainrudy 20.04.04 13:47
Salut atas materi tulisan yang rekan-rekan penulis sampaikan didalam kolom ini. Pada kesempatan ini saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal lain yang juga memberikan dampak yang sangat besar atas performance dari dokter-dokter kita yakni tekanan dari pihak-pihak diluar dari pribadi si dokter sendiri. Yakni pihak rumah sakit, pihak produsen obat dan pihak produsen alat-alat rumah sakit. Seperti yang terjadi didalam kasus dari ibu Anne dimana salah satu alasan mengapa pihak rumah sakit di Jakarta menyarankan bahwa untuk mengatasi sakit ibu Anne tersebut adalah dengan melakukan tindakan operasi pengangkatan rahim dan bukan dengan proses penyinaran sebagaimana yang dilakukan di Singapura adalah karena alat tersebut tidak terdapat di rumah sakit ybs. Sehingga adalah sangat mungkin sekali keputusan dari dokter ibu Anne di Jakarta tersebut memberikan obat antibiotik dosis tinggi dengan merek tertentu adalah juga karena adanya insentif yang dapat si dokter peroleh dari produsen obat apabila produknya dipergunakan. Demikian juga tindakan operasi tersebut disampaikan adalah karena apabila fasilitas kamar operasi tersebut dipergunakan maka si dokter tersebut akan memperoleh kredit tertentu dari pihak rumah sakit dimana ia berpraktek. Dari kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa tingkat profesionalisme dari si dokter juga sangat dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berada diluar dari diri sang dokter. Namun saya berpendapat bahwa keadaan yang dialami dokter sebagaimana yang saya kemukakan diatas tidak hanya dialami oleh dokter-dokter di Indonesia, namun juga dialami oleh dokter-dokter diseluruh dunia. Sehingga saya sangat setuju dengan dengan pendapat para penulis bahwa perlunya dibuat suatu standar prosedur operasi bagi para dokter didalam melakukan pemeriksaan medis yang berlaku umum. Dengan adanya ukuran tersebut maka kita pihak awam dan pasien dapat memiliki kesempatan yang fair untuk mengetahui apakah tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tersebut adalah sudah benar atau belum. Sehingga dari sisi hukumnya kita dapat mengetahui apakah si dokter tersebut telah melakukan malpraktek atau tidak. Demikian pendapat singkat saya semoga dapat menjadi masukan bagi kita semua dan khususnya bagi rekan-rekan penulis.
contoh dokter di SingapuraIndajani K. Halim 20.04.04 10:34
Masukan buat saya, yang penting negara Indonesia sampai sekarang tidak berbuat apa2 mengenai “profesi kedokteran karena tidak adanya undang2 malapraktek. Jadi orang cenderung berobat ke negara lain yang lebih bertanggung jawab terhadap nyawa orang dan dimana hukum diterapkan. Para dokter dinegara Singapura takut sekali digugat karena malapraktek karena itu mereka hati2 sekali. Tidak jarang hanya karena kesalahan administrasi sedikit, seperti yang saya baca di Straits Time di Singapore, Professor, kepala Rumah sakit Pemerintah meminta maaf kepada penulis yang menulis disurat pembaca. Pokoknya jangan takut complain, selalu akan ditanggapi. Apalagi kalau dengan surat.
sulit menggugat dokterThomas Hengky Prabowo 19.04.04 19:24
Dian, sebenarnya gugatan malpraktek sudah pernah dimasukin ke PN Jawa Tengah sekitar tahun 1979-an atau 1980-an awal, yang menggugat seorang dokter dari (semacam) puskesmas kota Pati yang diduga telah melakukan malpraktek karena telah salah memberikan suatu suntikan kepada pasien yang pada akhirnya membuat pasien itu meninggal (karena ternyata pasien tersebut alergi terhadap obat yang disuntikan itu). Ceritanya panjang banget kalo ditulis di sini. Gue juga pernah baca bukunya Fred Ameln, untuk kasus malpraktek di Indonesia, untuk mengadukannya dan membuat laporan ke polisi akan sulit karena: 1. Begitu kita lapor ke polisi, maka polisi akan memanggil terlapor dan terlapor akan menjelaskan apa yang telah dia lakukan pada pasien dengan menggunakan istilah-istilah kesehatan/kedokteran yang tidak dipahami oleh polisi tersebut.Jadi ketika di BAP, polisilah yang akan mengiyakan terus (orang dia enggak tau apa-apa). 2. Di Indonesia, profesi dokter masih sangat "agung" terutama bagi masyarakat pedesaan yang akan mengamini apa yang dokter (bahkan mantri) katakan. Kalau lapor ke IDI, paling mereka kena sanksi administratif oleh IDI atau dikeluarkan dan dilarang berpraktek oleh IDI. Dan harus diingat bahwa engga semua dokter masuk dalam IDI.
First Previous 1 2 3 4 5 Next Last

Kirim Tanggapan
Nama
Email
Judul
Tanggapan


Gambar tantangan reCAPTCHA





Dapatkan kata pengujian baru
Dapatkan kata pengujian berbentuk audio
Bantuan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar