Negara Pam Sam sempat dilanda kehebohan ketika
sekumpulan dokter berdemonstrasi di beberapa negara bagian. Mereka
memprotes kenaikan premi asuransi yang dijadikan jaminan dalam
menghadapi kasus malpraktek medik atau kelalaian medik, seandainya
mereka melakukan kesalahan diagnosis.
(*)Advokat di Jakarta;(**)Residen Program Spesialis di sebuah Universitas Negeri di Moskwa, Rusia
Dibaca: 19554
Tanggapan: 41
Para
dokter tersebut bahkan rela meninggalkan buku resep obat dan tempat
praktek mereka serta menggantinya dengan papan protes. Mereka juga turun
ke jalan sebagai wujud dari aksi protes mereka terhadap kenaikan premi
asuransi tersebut. (USA TODAY,18 Januari 2004).
Tentu tidak akan pernah terbayangkan oleh masyarakat bahkan oleh para dokter di Indonesia untuk mengikuti jejak rekan sejawat mereka di Amerika Serikat, yang sampai harus turun ke jalan akibat keharusan membayar premi asuransi profesi dokter.
Namun
akhir-akhir ini, karena maraknya kasus dugaan malpraktek medik atau
kelalaian medik di Indonesia, ditambah keberanian pasien yang menjadi
korban untuk menuntut hak-haknya, para dokter seakan baru mulai 'sibuk' berbenah diri. Terutama dalam menghadapi kasus malpraktek. 'Kesibukan' ini terjadi sejalan
dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi
masyarakat, dan meningkatnya kesadaran hukum di masyarakat menuntut
keadilan.
Mengamati pemberitan di media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpaktek medik dan kelalaian medik di Indonesia,
terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang
berdampak buruk terhadap pasiennya. Salah satu dugaan malpraktek yang
menonjol adalah kasus yang menimpa Augustianne Sinta Dame Marbun, istri
pengacara kondang Hotman Paris Hutapea. Ia mengalami kerusakan ginjal
yang diduga diakibatkan pemakaian antibiotik dosis tinggi (Suara Pembaruan, 9 Desember 2003).
Anne,
begitu Augustianne biasa disapa, divonis oleh seorang dokter spesialis
kandungan harus menjalani pengangkatan rahim. Sebelum dilakukan operasi,
ia harus meminum antibiotik dosis tinggi tiga kali sehari selama tujuh
hari. Setelah meminum antibiotik tersebut, kondisi Anne justru makin
buruk. Karena cemas dengan kondisi istrinya, Hotman Paris membawanya ke
rumah sakit untuk memperoleh second opinion. Disitu baru
terungkap bahwa antibiotik yang diminumnya ternyata membawa kerusakan
pada ginjalnya. Dosis yang diberikan kepada Anne dinilai terlalu tinggi.
Akhirnya ia dibawa ke Singapura untuk menjalani pengobatan. Nyatanya,
setelah menjalani pemeriksaan di salah satu rumah sakit terkemuka di sana, Anne tak perlu menjalani operasi pengangkatan rahim. Cukup dengan pengobatan sinar laser selama 10 menit.
Kasus
di atas tentunya sangat mengejutkan masyarakat awam. Keterkejutan
tersebut semakin bertambah--apabila memang benar telah terjadi kesalahan
diagnosis--mengingat reputasi dokter ahli kandungan yang menangani
kasus tersebut sangat baik dan terpandang di Indonesia. Ironisnya lagi, kasus seperti ini bukan hanya sekali dua kali terjadi, tapi sudah sangat sering terjadi di Indonesia,
bahkan telah banyak memakan korban jiwa. Banyak masyarakat yang berobat
bukan menjadi sembuh, tapi malah menjadi cacat seumur hidup, bahkan
meninggal dunia. Hal tersebut terjadi semata-mata adalah akibat
kesalahan diagnosis dokter dalam penanganan terhadap pasiennya.
Anne adalah salah satu dari sekian banyak pasien di Indonesia
yang mengalami pengalaman buruk akibat kesalahan diagnosis dokter.
Kebetulan Anne sang pasien tersebut adalah istri pengacara ternama,
sehingga kasus ini demikian gamblang terangkat ke media konsumsi
masyarakat. Namun, bagaimana kalau hal ini terjadi pada pasien yang
berasal dari golongan masyarakat miskin?
Tergolong
malpraktek medik atau kelalaian medik-kah dokter yang melakukan
kesalahan diagnosis tersebut? Menurut Dr. Marius Widjajarta, Ketua
Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), bila ada
standarnya, salah diagnosis bisa diduga malpraktek. Sebab, dari salah
diagnosis bisa berakibat salah terapi. Salah terapi bisa berakibat
fatal. Banyak pasien meninggal di tangan dokter, dan ironisnya di Indonesia
belum ada hukum yang mengatur standar profesi kedokteran dalam
melakukan kesalahan profesi. Sehingga, sulit membedakan antara
malpraktek dengan kelalaian, kecelakaan dan kegagalan. Apalagi pemahaman
malpraktek pun masih belum seragam. Sehingga kerap pasien menuding
terjadi malpraktek, sedangkan dokter membantahnya (Gatra, 13 Maret 2004).
Sementara itu Prof. dr.Farid Anfasa Moeloek, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berpendapat, batasan
tegas tenaga medis melakukan malpraktek adalah jika tindakan tenaga
medis tersebut sudah melanggar standar prosedur. Masalahnya, setiap
rumah sakit memiliki Standar Operating Procedure
(SOP) yang berbeda-beda, tergantung pada fasilitas yang dimiliki rumah
sakit. Sehingga mengenai tuntutan malpraktek harus dilihat kasus per
kasus. Tidak bisa digeneralisasi hal seperti apa yang menjadi
malpraktek, dan mana yang bukan. (Kompas, 23 Januari 2003).
Kenyataan
diatas sudah barang tentu membuat masyarakat 'ngeri' dengan dokter.
Kengerian masyarakat tersebut bahkan bisa mengarah menjadi suatu
ketidakpercayaan masyarakat terhadap dokter di Indonesia.
Kengerian ini makin bertambah dengan kenyataan sulitnya menyeret dokter
ke meja hijau karena tidak adanya suatu keseragaman tentang pemahaman
malpraktek, karena ketiadaan hukum yang mengatur standar profesi
kedokteran. Akhirnya, kalangan berduit memilih untuk berobat ke luar
negeri seperti Singapura, Malaysia atau Australia, bahkan sampai ke negeri Cina.
Berdasarkan
data LBH Jakarta, setiap tahun sedikitnya sepuluh orang melakukan
pengaduan kepada LBH karena tindakan dokter atau petugas kesehatan yang
merugikan. Tindakan tersebut mengakibatkan kecacatan atau kematian
pasien (www.kompas.com, 28 Januari 2003). Sepengetahuan penulis, sebagian besar dari kasus yang dilaporkan tersebut telah diselesaikan secara damai.
Sementara
di Amerika Serikat untuk tahun 2000 saja, terdapat 86.640 kasus
tuntutan malpraktek dan sebagian besar juga diselesaikan melalui mediasi
(www.medicalmalpractice.com). Hal ini membuat
masyarakat semakin mencap dokter sebagai profesi yang kebal hukum.
Kenyataan ini tentunya tidak hanya merugikan masyarakat, namun dapat
merugikan profesi dokter sendiri.
Sungguh malang
nasib para dokter yang menjalankan profesinya yang mulia. Di satu sisi
profesi ini bukan pelaku usaha karena tujuannya bukanlah untuk mencari
keuntungan semata. Profesi ini hanya memperoleh penghargaan atas
upayanya dalam menyembuhkan pasien. Namun disisi lain ada resiko besar
yang dihadapinya apabila dalam usahanya untuk menyembuhkan pasien. Entah
karena takdir atau karena kelalaiannya (human error).
Apalagi, bila tindakannya tersebut dinilai tergolong malpraktek medik,
sehingga dia harus menghadapi tuntutan, baik perdata atau pidana.
Tentunya
hal ini menimbulkan ketakutan tersendiri bagi para dokter dalam
menjalankan profesinya, mengingat mereka adalah manusia biasa yang bisa
berbuat salah. Dokter hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk
menyembuhkan pasien, tapi tidak bisa menjanjikan kesembuhannya. Apabila
dokter dituntut baik secara perdata maupun pidana, maka untuk
menyelesaikannya perlu diadakan pemeriksaan perkara lebih lanjut di
pengadilan. Dampaknya tentu saja dapat merusak citra dan nama baik
dokter sebagai profesi yang luhur dan mulia, yang tidak semata-mata
hanya mencari keuntungan, terutama bersifat kemanusiaan dan sosial.
Berangkat
dari kasus tersebut diatas, maka muncul pertanyaan apakah kesalahan
diagnosis dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktek medik atau
kelalaian medik? Apakah mungkin dibentuk suatu hukum yang mengatur
mengenai standar profesi kedokteran dalam rangka memberikan perlindungan
hukum baik bagi masyarakat maupun profesi kedokteran sendiri? Untuk
mempersempit ruang lingkup, penulis hanya membatasi tulisan ini dalam
konteks hubungan dokter dan pasien, tidak mencakup ruang lingkup rumah
sakit, laboratorium, dan tenaga medis selain dokter.
Meski
berita yang membahas mengenai malpraktek medik atau kelalaian medik
begitu marak, namun, jarang yang memaparkan pengertian mengenai hal
tersebut. Oleh sebab itu, untuk memberikan pengertian yang lebih baik,
penulis terlebih dahulu memaparkan beberapa pengertian malpraktek medik
atau kelalaian medik.
Prof.dr.
M. Jusuf Hanafiah, SpOG(K) memberikan pengertian tentang malpraktek
medik yaitu kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam
mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan
yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini ialah sikap kurang
hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang
seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi
tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran
di bawah standar pelayanan medik.
Lebih
jauh lagi, Hanafiah berpendapat bahwa kelalaian bukanlah suatu
pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak sampai
membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat
menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum De minimis noncurat lex
yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.
Tetapi jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan
bahkan merenggut nyawa orang lain, maka ini diklasifikasikan sebagai
kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminal.
Adapun
dokter dapat dikatakan melakukan malpraktek apabila dokter kurang
menguasai ilmu kedokteran yang berlaku umum, memberikan pelayanan
dibawah standar, melakukan kelalaian berat, atau melakukan tindakan
medik yang bertentangan dengan hukum.:
Jika
dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik
kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat
menuntut penggantian kerugian karena kelalaian, maka penggugat harus
dapat membuktikan adanya empat unsur berikut: adanya kewajiban dokter
terhadap pasien, dokter melanggar standar pelayanan medik yang lazim
dipakai, penggugat menderita kerugian, dan kerugian tersebut disebabkan
tindakan di bawah standar.
Sedangkan
menurut Drs. Fred Ameln, S.H., seorang dokter melakukan malpraktek
apabila ia melakukan suatu tindakan medik yang salah (wrong-doing) atau ia tidak atau tidak cukup mengurus pengobatan/perawatan pasien (neglect the patient by giving not or not enough care to the patient).
Kemudian J. Guwandi, S.H. mengatakan bahwa malpraktek
adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, bersifat stigmatis.
Sebenarnya istilah malpraktek tidak hanya terjadi pada profesi
kedokteran saja. Namun entah mengapa, ternyata dimana-mana, bahkan di
luar negeri, istilah malpraktek selalu pertama-tama dikaitkan kepada
profesi medis.
Ada beberapa penulis yang mengatakan bahwa sukar untuk mengadakan pembedaan antara negligence dan malpractice. Menurut pendapat mereka, lebih baik malpractice dianggap sinonim saja dengan professional negligence (Creighton, 167). Memang di dalam literatur, penggunaan kedua istilah itu sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama. Malpractice is a term which is increasingly widely used as a synonym for medical negligence (Mason-McCall Smith, 339).
Berbeda
dengan pengertian-pengertian yang telah dipaparkan sebelumnya, J.
Guwandi, S.H. tidak sependapat dengan pendapat yang mengatakan
malpraktek lebih baik dianggap sinonim dengan kelalaian. Menurutnya,
malpraktek tidaklah sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk
dalam arti malpraktek, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu terdapat
unsur kelalaian.
Malpraktek
mempunyai pengertian yang lebih luas daripada kelalaian. Karena selain
mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup
tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, onzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya suatu motif (mens rea, guilty mind). Sedangkan arti kelalaian lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa),
kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tak peduli
terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang
bukanlah menjadi tujuannya.
Dari
beberapa pengertian dan pendapat dari para ahli hukum kedokteran di
atas, terlihat adanya perbedaan dalam melihat pengertian dari malpraktek
dan kelalaian dalam profesi kedokteran. Namun terlepas apakah
malpraktek medik dan kelalaian medik merupakan suatu pengertian yang
sama atau berbeda, penulis berpendapat bahwa pada intinya
pengertian-pengertian tersebut di atas adalah sama. Yaitu kesalahan
dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasiennya, sengaja atau
tidak sengaja tindakan medik tersebut dilakukan oleh sang dokter
tersebut.
Namun ada baiknya pengertian malpraktek medik dan kelalaian medik di Indonesia
diseragamkan dan diatur secara jelas serta tertuang dalam suatu
peraturan perundang-undangan atau aturan tertulis. Terlepas apakah
nantinya akan dibedakan antara pengertian malpraktek medik dan kelalaian
medik, atau menjadi satu pengertian tanpa pembedaan.
Pengaturan
ini sangatlah penting guna terciptanya suatu kepastian hukum bagi
masyarakat dan dokter serta untuk menjamin rasa keadilan. Para
dokter tidak dapat menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya,
sedangkan pasien tidak dapat sembarangan menggugat dokter yang
menanganinya. Terlebih apabila terlihat jelas bahwa tindakan medik yang
dilakukan oleh dokter yang bersangkutan telah memenuhi UU No. 23 tahun
1992 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI) dan Standar Profesi Kedokteran yang berlaku.
Mengenai
kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter termasuk
malpraktek medik/kelalaian medik atau bukan, penulis berpendapat bahwa
sepanjang seorang dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap
pasiennya memenuhi UU Kesehatan, KODEKI (lihat Pasal 1,2,6,10 dan 11)
dan Standar Profesi Kedokteran, maka sekalipun dokter tersebut melakukan
kesalahan diagnosis, tindakan dokter tersebut tidak dapat dikategorikan
sebagai tindakan malpraktek medik/kelalaian medik.
Setiap kasus kesalahan diagnosis dokter yang mencelakakan pasiennya yang selama ini terjadi di Indonesia
selalu dibawa ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) di bawah
naungan IDI, baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang.
Memang
KODEKI hanya mencantumkan tindakan apa yang harus dilakukan atau tidak
seharusnya dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
Namun penerapan sanksi apabila terjadi pelanggaran atas KODEKI tidak
diatur secara jelas. Hanya sanksi etika dan moral yang melekat dalam
setiap pelanggaran KODEKI.
Jadi
MKEK hanya memutuskan persoalan etika profesi kedokteran, mengingat
kapasitasnya yang bukan merupakan lembaga pengadilan medik yang
berwenang secara hukum untuk memutuskan apakah suatu kesalahan diagnosis
adalah tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik. Paling banter
MKEK hanya bisa memberikan pernyataan apakah seorang dokter yang
melakukan kesalahan diagnosis telah melakukan tindakan medik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU Kesehatan,
KODEKI dan Standar Profesi Kedokteran yang ada atau tidak.
Mengenai perumusan Standar Profesi Kedokteran (medische profesionele standaard)
menurut Leenen (seperti yang telah diterjemahkan oleh Drs. Fred Ameln,
S.H.), adalah berbuat secara teliti dan seksama menurut ukuran medik,
sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata (average) dibanding dengan dokter dari ketagori keahlian medik yang sama, dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional dengan tujuan kongkrit tindakan/perbuatan medik tersebut).
Menurut
Drs. Fred Ameln, S.H., perumusan standar di atas harus dipakai untuk
menguji apakah suatu perbuatan medik merupakan malpraktek atau tidak.
Ternyata, Drs. Fred Ameln, S.H. berpendapat, unsur perumusan Standar
Profesi Kedokteran menurut Leenen adalah yang paling lengkap dan
memiliki banyak unsur yang sangat relevan.
Untuk
menilai apakah kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter
termasuk kategori malpraktek medik atau kelalaian medik, dapat ditelaah
melalui standar di atas sebagai berikut: Pertama,
dokter harus bekerja secara teliti dan seksama. Apabila memang
kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter adalah akibat
ketidaktelitiannya, misalnya salah dalam membaca hasil pemeriksaan
laboratorium pasiennya, maka dokter yang bersangkutan telah memenuhi
unsur kelalaian.
Kedua,
dokter dalam mengambil tindakan harus sesuai dengan ukuran ilmu medik.
Apabila dokter tersebut telah melakukan tindakan medik sesuai dengan
ukuran ilmu medik dan terjadi kesalahan diagnosis, maka kesalahan dokter
tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai malpraktek medik atau
kelalaian medik.
Ketiga, kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama. Keempat, dalam situasi kondisi yang sama. Kelima,
sarana upaya yang sebanding dengan tujuan kongkrit tindakan medik
tersebut. Bahwa menurut Drs. Fred Ameln, S.H., tindakan medik tidak saja
harus sesuai dengan standar medik saja, akan tetapi harus pula
ditujukan pada suatu tujuan medik. Tindakan diagnosis maupun tindakan
terapeutik harus secara nyata ditujukan pada perbaikan situasi pasien.
Apabila jelas terlihat bahwa seorang dokter telah melakukan upaya medik
yang sangat maksimal demi kesembuhan pasien, namun ternyata dokter
tersebut melakukan kesalahan diagnosis, maka tindakan medik dokter
tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai malpraktek medik atau
kelalaian medik.
Seperti
yang telah disebutkan di atas bahwa kondisi setiap pasien adalah
berbeda-beda, walaupun penyakit yang dideritanya sama. Sekali lagi
dokter bukanlah Tuhan, namun hanyalah manusia biasa yang mencoba untuk
memberikan pertolongan berdasarkan ilmu yang dikuasainya, UU Kesehatan,
KODEKI serta Standar Profesi Kedokteran yang ada.
Selain
itu, menurut Drs. Fred Ameln, S.H. bahwa harus disadari bahwa sulit
sekali memberikan kriteria atau standar yang pasti untuk dipakai dalam
setiap tindakan medik karena perbedaan situasi kondisi fisik pasien.
Kondisi fisik para pasien yang berbeda-beda yang dapat menghasilkan
reaksi, terutama terhadap obat, yang berbeda walaupun diberikan terapi
yang sama sesuai dengan standar umum yang berlaku. Maka dari itu penulis
tetap berpendapat bahwa sekalipun dokter tersebut melakukan kesalahan
diagnosis namun dia sudah memenuhi UU Kesehatan, KODEKI dan Standar
Profesi Kedokteran yang ada dan berlaku, maka tindakan medik dokter
tersebut bukanlah suatu tindakan malpraktek medik atau kelalaian medik.
Apabila ternyata kesalahan diagnosis dokter tersebut tergolong malpraktek medik/tindakan medik atau bukan, dan tidak
terbukti secara jelas dan gamblang, sementara pasien ternyata menuntut
ganti rugi dengan menggugat sang dokter baik secara perdata maupun
pidana, maka hal ini harus dibuktikan lebih lanjut melalui lembaga
peradilan yang ada di Indonesia, dengan tetap menganut asas praduga tak
bersalah (presumption of innocent).
Untuk
memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum baik bagi masyarakat dan
para dokter, seperti yang telah dipaparkan diatas, penulis mengusulkan
perlunya penyeragaman dan penegasan mengenai pengertian malpraktek medik
ataukelalaian medik, yang tertuang dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Dan juga adanya penyeragaman SOP untuk fasilitas kesehatan yang ada dan berlaku umum di seluruh Indonesia.
Selain itu, penerapan audit dokter atau medical audit
sangatlah penting untuk menjaga kualitas para dokter, terutama bagi
para dokter spesialis. Misalnya para dokter diwajibkan untuk mengikuti
pendidikan dokter berkelanjutan (Continuing Medical Education/CME) agar ilmunya tidak mengalami stagnasi dan selalu mengikuti perkembangan ilmu kedokteran terbaru (medical is long life study). Medical audit
akan bagus apabila badan pengawas yang masih ada yaitu Dinas Kesehatan
dan IDI dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien. Pengaturan
mengenai Medical Audit memang sebaiknya dimasukkan dalam bagian RUU Praktek Kedokteran sebagai kewajiban dokter yang mempunyai akibat hukum.
Hal
ini bertujuan untuk mencegah atau meminimalisasi kesalahan diagnosis
dokter yang tergolong malpraktek medik atau kelalaian medik. Sehingga
masyarakat Indonesia mendapatkan rasa aman, perlindungan hukum serta pelayanan kesehatan yang terbaik dari para dokter di Indonesia. Bisa dibayangkan apabila dokter di Indonesia
diwajibkan untuk membayar asuransi profesi yang preminya sangat tinggi
seperti yang terjadi di Amerika Serikat karena tingginya gugatan
malpraktek medik/kelalaian medik. Jangan-jangan masyarakat lagi yang
akan menanggung tingginya biaya jasa dokter, karena tingginya premi
asuransi profesi dokter tentunya akan mengakibatkan tingginya biaya
pengobatan.
tanggapan

hanya Tuhan yang dapat menghukum —
deni
18.08.14 21:41
Terlalu banyak pengalaman saya
dikecewakan dokter, dan ternyata orang lain juga sama..
lupakan hukum, hanya doa yang bisa membantu kita/pasien, mudah - mudahan
mereka ingat hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa ciptaannya... bukan
dokter
Balas Tanggapan

kode etik yang luntur —
Dyah Aristi Kusuma Putri
09.06.08 18:36
saya sangat kecewa dengan dokter2 di
Indonesia, mereka hanya mau uang pasien saja tanpa memikirkan sebenarnya
dokter2 tersebut punya beban mental untuk melakukan yang terbaik buat
pasien, bukannya profesi di jadikan suatu bisnis semata karena ini
menyangkut nyawa seseorang, bagaimana jika itu terjadi di keluarga
mereka. dan manusia sekarang sudah tidak takut akan dosa selama mereka
masih jaya....
oleh sebab itu saya sangat kecewa atas perbuatan yang para dokter
lakukan pada ayah saya dengan selalu mendiagnosa yang berbeda setiap
harinya. kepada siapalagi kami harus percaya jika ada masalah dalam
bidang kesehatan kalau bukan kepada dokter? tapi ternyata dokter sendiri
tega berbuat seperti itu kepada para pasien.
Balas Tanggapan

siapa yang bisa bantu untuk konsultasi online —
ario
09.05.07 17:14
beberapa bulan lalu anak saya yabg baru
lahir meninggal dunia, padahal kelahirannya sudah bulannya, normal,
berat 3,2 panjang 5.0 di sebuah klinik, pada hari kedua dia baru muntah
dan di rujuk kerumah sakit dengan diagnosa yang membingungkan dan
dokter bedah menganjurkan harus segera ada tindakan operasi tanpa ada
pilihan lain selain dipuasakan. awal diagnosa katanya ada penyumbatan
tapi hari kedua saya dianjurkan dokter anak untuk koloninlop ternyata
baik2 aja artinya tidak ada sumbatan. masuk hari keempat RS tersebut
minta anak saya untuk dirujuk kerumah sakit lain, akhirnya saya jalani
dan tidak lama setelah itu anak saya meninggal.
Balas Tanggapan

Jangan lupa melindungi assets. —
Josep Rustam
29.04.04 09:36
Sedikit sharing guna menanggapi tulisan
Dian.
Dokter di Australia sering diingatkan untuk melindungi asset mereka agar
ketika terlibat masalah hukum dapat terhindar dari stress yang
berlebihan. Hal ini dapat terjadi karena dokter yang tidak melindungi
asset mereka bisa saja kehilangan semua hartanya demi membayar ganti
rugi, terutama ketika mereka under insured atau ada gap yang harus
mereka bayar sendiri karena insurance yang mereka ambil tidak membayar
ganti rugi sepenuhnya.
Ada beberapa cara perlindungan asset yang diusulkan (tentunya cara ini
belum tentu dapat diterapkan di Indonesia).
1. Membentuk Asset Protection Trust
Dengan membentuk sebuah trust, seorang dokter dapat mentransfer net
Assets-nya dari kekayaan individual ke trust yang dibentuknya. Misalnya,
dokter tsb memiliki property seharga $500,000 yang dibeli dengan hutang
Bank $200,000, maka dokter tsb dapat menulis cek untuk trust tsb
sebanyak $300,000. Dengan demikian, jika terjadi tuntutan hukum yang
mengharuskan dokter tsb untuk menggadaikan assetnya, maka yang $300,000
tidak akan disentuh oleh pengadilan. Ini contoh yang disederhanakan,
karena dalam dunia nyata harus diperhitungkan pula stamp duty ketika
transfer dilakukan, dan kemungkinan pengenaan Capital Gain Tax ketika
property tsb dijual. Lumayan jelimet, tapi pantas untuk dicoba.
2. Mentransfer asset/mengubah nama kepemilikan asset (biasanya memakai
nama pasangan/suami/istri dokter tsb)
Cara ini juga cukup lazim dilakukan oleh para artis atau pelaku bisnis
dimana selain mereka mentransfer asset mereka ke nama
pasangan/suami/istri, ketika menikah mereka juga melakukan perjanjian
pisah harta. Selain bertujuan untuk menjaga harta masing-masing, metode
ini juga effektif untuk mencegah gangguan dari tangan pengadilan,
kecuali jika orang tsb menyatakan diri bankrut, maka pengadilan akan
melihat apakah transfer asset ini dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari kewajiban sehingga nantinya ada kemungkin transfer tsb
dibatalkan. Contoh asset yang sering ditransfer ke nama
pasangan/suami/istri adalah saham terdaftar, kas dan term deposit.
Kekurangan metode ini adalah kalau pasangan/suami/istri tsb minta cerai,
maka pembagian harta berada dalam wewenang Family Court.
3. Menyimpan uang dalam bentuk Superannuation Fund.
Dokter dan anggota keluarganya dapat membentuk sebuah Super Fund, lalu
mentransfer assets mereka, baik dalam bentuk cash maupun non cash ke
Super Fund tsb. Total assets sampai sejumlah $1,1M tidak akan dapat
diakses oleh pengadilan.
Memang sekarang ini hampir semua profesi memiliki resiko untuk dituntut
ke pengadilan, maka risk management bagi penyedia jasa, seperti dokter,
pengacara, akuntan, konsultan, auditor, financial planner, dll sangat
perlu diterapkan.
Salam,
Josep.
Balas Tanggapan

malpraktek —
dewi
20.04.04 22:11
saya gemass dgn praktek malpraktek di
indonesia, memang benarr budaya "nrimo" turut menghambat proses hukum
thd DR yg melakukan malpraktek, ada salah satu DR keluarga saya yg
bercerita: bhw dia pernah memeriksa kaki seorang ibu yg membengkak
setelah melakukan operasi dan ternyata setelah dioperasi ulang, "ada
kain kasa yg tertinggal dikaki ibu tsb", lalu DR tsb menawarkan apakah
ibu mau menuntut pihak DR yg meninggalkan kasa di kakinya, DR yg
mengoperasi ulang bersedia utk menjadi SAKSI tetapi ibu tsb tidak mau
membawa permasalahan ke meja hijau krn menganggap itu sdh jalan
hidupnya,
saya salut dgn DR hermanto yg bersikap "adil" thd profesinya.
(utk para DR: mengakui kesalahan tidak membuat harga diri anda JATUH)
Praktek malpraktek di indonesia sdh keterlaluan dan membuat
masy.ketakutan,saya coba memberikan poling sederhana: dalam jangka waktu
6 bulan,dari 5 keluarga saya yg sakit,2 diantaranya tlh slh di
diagnosis DR di indonesia, oma saya dinyatakan sakit jantung setelah
didiagnosis ulang di sin,ternyata sakit ginjal. begitupun dengan
keponakan saya.
di RS yang terbilang "high class" saja dapat terjadi malpraktek, apalagi
sekelas puskesmas, mungkin UNIV.kedokteran di indonesia terlalu gampang
meluluskan muridnya atau kurikulumnya yg sdh uzur sehingga lahir DR
yang sembrono dan kurang ilmu.
kedudukan DR yg lbh tinggi dr pasien, hrs diseimbangkan dgn peraturan
dan kontrol yg ketat.
Balas Tanggapan

Untouchable by law —
Wida
20.04.04 17:26
Membaca tulisan anda, saya menjadi
berpikir bahwa posisi dokter adalah posisi yang untouchable dan tidak
bisa dijamah oleh hukum (kebal hukum) meskipun dokter tersebut melakukan
suatu tindakan yang nota bene telah menimbulkan kerugian bagi
pasiennya, tetap saja tidak dapat terjerat oleh hukum karena ada KODEKI,
MKEK. Hal ini membuat saya menjadi ngeri untuk menjadi pasien dan
membayangkan bahwa apabila dokter saya telah salah dalam mendiagnosa
saya atau saya mengalami suatu pengobatan yang mencelakakan (injurious
treatment), hukum tidak melindungi saya dan saya akan mengalami
kesulitan untuk menuntut hak saya sebagai pasien untuk meminta ganti
rugi. Padahal kenyataannya kita memiliki seperangkat peraturan yang
memberikan hak kepada kita untuk menuntut ganti kerugian terhadap
malpraktek medis yang merugikan kita, baik itu merupakan malpraktek yang
disengaja, maupun malpraktek yang merupakan kelalaian dokter (dimana
saya kurang setuju dengan pendapat penulis bahwa kelalaian dokter
bukanlah malpraktek) (pasal 1365-1366 KUHPerdata). Hukum Pidana juga
telah mengatur tindakan malpraktek medis seperti euthanasia, aborsi,
kealpaan yang menimbulkan luka-luka. Namun jalur hukum tersebut di atas
biasanya mengalami kesulitan pada proses pembuktian karena adanya unsur
‘kekompakan’ antara sesama dokter, seperti yang tercantum dalam KODEKI,
bahwa "teman sejawat akan saya perlakukan sebagai saudara kandung",
sehingga menjadikan sifatnya menjadi untouchable by law. Oleh karena itu
menghadapi polemik di bidang kedokteran ini, tidak hanya dibutuhkan
peraturan yang lebih komprehensif mengenai praktek kedokteran yang
mengatur tidak cuma ketegasan dari suatu definisi malpraktek, but bottom
line adalah bagaimana perundangan tersebut dapat membuat posisi dokter
menjadi touchable by law, atau dengan kata lain optimalkan fungsi MKEK,
sehingga bukan hanya untuk menutupi kesalahan para dokter saja!!!
Balas Tanggapan

info mengenai proses peradilan gugatan malpraktek —
Penulis
20.04.04 15:43
Sebelumnya saya mengucapkan terima
kasih kepada rekan2 yang telah meluangkan waktunya untuk membaca dan
memberikan tanggapan terhadap tulisan ini.Sekedar info saja, menurut
informasi yang saya dapat dari DR.Rosa Pangaribuan,S.H.,M.H.,bahwa
ternyata Perma No.2/2003 tentang Prosedur Mediasi telah efektif di PN.
Dan seperti yang telah diberitakan di hukumonline 7 April 2004 yang
lalu, bahwa PN Jakarta Pusat telah meminta para pihak dalam kasus
gugatan malpraktek yang diajukan oleh Indra Syafri Yacub terhadap RSCM,
RS Pelni Petamburan dan RS PMI Bogor untuk menyelesaikan terlebih dahulu
lewat mediasi. Jadi kita lihat saja apakah kasus gugatan malpraktek di
Indonesia akan berlanjut sampai ke meja hijau atau selesai secara damai
(lagi) dan adil dalam proses mediasi.
Balas Tanggapan

Hal-hal lain —
rudy
20.04.04 13:47
Salut atas materi tulisan yang
rekan-rekan penulis sampaikan didalam kolom ini. Pada kesempatan ini
saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal lain yang juga memberikan
dampak yang sangat besar atas performance dari dokter-dokter kita yakni
tekanan dari pihak-pihak diluar dari pribadi si dokter sendiri. Yakni
pihak rumah sakit, pihak produsen obat dan pihak produsen alat-alat
rumah sakit.
Seperti yang terjadi didalam kasus dari ibu Anne dimana salah satu
alasan mengapa pihak rumah sakit di Jakarta menyarankan bahwa untuk
mengatasi sakit ibu Anne tersebut adalah dengan melakukan tindakan
operasi pengangkatan rahim dan bukan dengan proses penyinaran
sebagaimana yang dilakukan di Singapura adalah karena alat tersebut
tidak terdapat di rumah sakit ybs. Sehingga adalah sangat mungkin sekali
keputusan dari dokter ibu Anne di Jakarta tersebut memberikan obat
antibiotik dosis tinggi dengan merek tertentu adalah juga karena adanya
insentif yang dapat si dokter peroleh dari produsen obat apabila
produknya dipergunakan. Demikian juga tindakan operasi tersebut
disampaikan adalah karena apabila fasilitas kamar operasi tersebut
dipergunakan maka si dokter tersebut akan memperoleh kredit tertentu
dari pihak rumah sakit dimana ia berpraktek.
Dari kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa tingkat profesionalisme dari
si dokter juga sangat dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berada diluar
dari diri sang dokter.
Namun saya berpendapat bahwa keadaan yang dialami dokter sebagaimana
yang saya kemukakan diatas tidak hanya dialami oleh dokter-dokter di
Indonesia, namun juga dialami oleh dokter-dokter diseluruh dunia.
Sehingga saya sangat setuju dengan dengan pendapat para penulis bahwa
perlunya dibuat suatu standar prosedur operasi bagi para dokter didalam
melakukan pemeriksaan medis yang berlaku umum. Dengan adanya ukuran
tersebut maka kita pihak awam dan pasien dapat memiliki kesempatan yang
fair untuk mengetahui apakah tindakan medis yang dilakukan oleh dokter
tersebut adalah sudah benar atau belum.
Sehingga dari sisi hukumnya kita dapat mengetahui apakah si dokter
tersebut telah melakukan malpraktek atau tidak. Demikian pendapat
singkat saya semoga dapat menjadi masukan bagi kita semua dan khususnya
bagi rekan-rekan penulis.
Balas Tanggapan

contoh dokter di Singapura —
Indajani K. Halim
20.04.04 10:34
Masukan buat saya, yang penting negara
Indonesia sampai sekarang tidak berbuat apa2 mengenai “profesi
kedokteran karena tidak adanya undang2 malapraktek. Jadi orang
cenderung berobat ke negara lain yang lebih bertanggung jawab terhadap
nyawa orang dan dimana hukum diterapkan. Para dokter dinegara Singapura
takut sekali digugat karena malapraktek karena itu mereka hati2 sekali.
Tidak jarang hanya karena kesalahan administrasi sedikit, seperti yang
saya baca di Straits Time di Singapore, Professor, kepala Rumah sakit
Pemerintah meminta maaf kepada penulis yang menulis disurat pembaca.
Pokoknya jangan takut complain, selalu akan ditanggapi. Apalagi kalau
dengan surat.
Balas Tanggapan

sulit menggugat dokter —
Thomas Hengky Prabowo
19.04.04 19:24
Dian, sebenarnya gugatan malpraktek
sudah pernah dimasukin ke PN Jawa Tengah sekitar tahun 1979-an atau
1980-an awal, yang menggugat seorang dokter dari (semacam) puskesmas
kota Pati yang diduga telah melakukan malpraktek karena telah salah
memberikan suatu suntikan kepada pasien yang pada akhirnya membuat
pasien itu meninggal (karena ternyata pasien tersebut alergi terhadap
obat yang disuntikan itu). Ceritanya panjang banget kalo ditulis di
sini. Gue juga pernah baca bukunya Fred Ameln, untuk kasus malpraktek di
Indonesia, untuk mengadukannya dan membuat laporan ke polisi akan sulit
karena:
1. Begitu kita lapor ke polisi, maka polisi akan memanggil terlapor dan
terlapor akan menjelaskan apa yang telah dia lakukan pada pasien dengan
menggunakan istilah-istilah kesehatan/kedokteran yang tidak dipahami
oleh polisi tersebut.Jadi ketika di BAP, polisilah yang akan mengiyakan
terus (orang dia enggak tau apa-apa).
2. Di Indonesia, profesi dokter masih sangat "agung" terutama bagi
masyarakat pedesaan yang akan mengamini apa yang dokter (bahkan mantri)
katakan.
Kalau lapor ke IDI, paling mereka kena sanksi administratif oleh IDI
atau dikeluarkan dan dilarang berpraktek oleh IDI. Dan harus diingat
bahwa engga semua dokter masuk dalam IDI.
Balas Tanggapan
First
Previous
1
2
3
4
5
Next
Last
Kirim Tanggapan
Nama
Email
Judul
Tanggapan