
Sumber gambar : Okky Asokawati/Istimewa
JAKARTA, SON
- Kasus malpraktik dalam kenyataannya masih banyak terjadi. Seperti
saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi IX DPR RI, 15 Januari
2013 lalu, dengan keluarga para korban malpraktek, Direktorat Jenderal
BUK Kemenkes, Ikatak Dokter Indonesia (IDI), KKI, pimpinan RS Elizabet
(Medan), RS Medika Permata Hijau serta RS Dedari (NTT).
Contoh kasusnya adalah seperti apa yang dialami Pasien, MS, saat ini tidak dapat buang air kecil. Sepasang selang saat ini dipasang pada kedua ginjalnya. Hal itu terjadi karena adanya komplikasi operasi pengangkatan rahim sehingga kandung kemihnya ikut tersayat yang dilakukan di RS Elizabet, Medan.
Pasien lain yaitu R, seorang anak laki berusia 10 tahun, hingga saat ini mengalami kelumpuhan, buta dan kaku otot setelah dilakukan operasi usus buntu. Komplikasi anestesi adalah penyebabnya. R melakukan operasi tersebut di RS Medika Pemata Hijau. Lalu, E adalah seorang anak yang meninggal dunia pertengahan tahun lalu di RS Dedari, NTT, setelah kepadanya dilakukan tranfusi melalui suntikkan.
"Ketika dugaan malpraktik ini disorot oleh para anggota Komisi IX, baik IDI maupun KKI terlihat tidak transparan untuk menjelaskan posisi masing-masing RS dengan para korban. Bahkan kasus R terlihat begitu lambannya direspon oleh pihak MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia)," ujar anggota Komisi IX, Okky Asokawati, dalam pesan elektronik yang diterima Sorotnews.com, Jumat (18/1/2013).
Selama ini, menurut politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu, memang yang terasa adalah adanya usaha dari para dokter untuk menutup tutupi kesalahan rekan sesama dokter. Bahkan ketika MKDKI melakukan sidang untuk meminta pertanggung jawaban dari seorang dokter sidang tersebut bersifat tertutup. Conspiracy of Silence dari para dokter tersebut membuat masyarakat seolah olah mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya dugaan malpraktek. Sampai saat ini pun, belum pernah ada dokter yang mendapat sanksi pidana terkait hal itu.
Di lain sisi masyarakat sendiri dinilai masih belum menyadari secara utuh bahwa mereka memiliki hak untuk mengajukan ketidak puasan atau bahkan melaporkan adanya dugaan malpraktek pada suatu pusat pelayanan kesehatan. Masalah yang dihadapi oleh para pasien itu apakah masalah hukum, etika kedokteran atau disiplin kedokteran, merekapun tidak faham tentang hal itu. Dan kemana mereka harus melapor juga tidak disosialisasikan dengan baik oleh pemerintah (Kemenkes, IDI atau KKI).
"Saya yakin banyak kasus-kasus malpraktik yang tidak disuarakan karena keluarga pasien menerima begitu saja dan pasrah dengan nasib yang menimpa. Masyarakat perlu diberi kesadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya," jelas Okky.
Untuk itu, Okky mendesak kepada pemerintah khususnya Direktorat Bina Upaya Kesehatan pada Kemenkes serta IDI agar melakukan sosialisasi advokasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai mekanisme pelaporan bila terjadi hal-hal yang dirasakan tidak semestinya.
"Ini sangat penting agar kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di Republik ini tetap terjaga baik. Apalagi BPJS Kesehatan akan segera beroperasi pada 1 Januari 2014," kata Okky.
Hanya saja, sampai saat ini pun ketersediaan fasilitas untuk melaporkan komplain pasien juga bagi Okky sangat tidak maskimal. "Setidaknya saat saya melakukan reses beberapa waktu lalu ke RSCM, lokasi tempat dimana pasien bisa melaporkan keluhannya (complaint mechanism) itupun jauh di belakang di pojok yang kumuh dan tidak ada tanda-tanda yang mengarahkan menuju ke tempat tersebut," tutup Okky. (Eka Apriyanti)
Contoh kasusnya adalah seperti apa yang dialami Pasien, MS, saat ini tidak dapat buang air kecil. Sepasang selang saat ini dipasang pada kedua ginjalnya. Hal itu terjadi karena adanya komplikasi operasi pengangkatan rahim sehingga kandung kemihnya ikut tersayat yang dilakukan di RS Elizabet, Medan.
Pasien lain yaitu R, seorang anak laki berusia 10 tahun, hingga saat ini mengalami kelumpuhan, buta dan kaku otot setelah dilakukan operasi usus buntu. Komplikasi anestesi adalah penyebabnya. R melakukan operasi tersebut di RS Medika Pemata Hijau. Lalu, E adalah seorang anak yang meninggal dunia pertengahan tahun lalu di RS Dedari, NTT, setelah kepadanya dilakukan tranfusi melalui suntikkan.
"Ketika dugaan malpraktik ini disorot oleh para anggota Komisi IX, baik IDI maupun KKI terlihat tidak transparan untuk menjelaskan posisi masing-masing RS dengan para korban. Bahkan kasus R terlihat begitu lambannya direspon oleh pihak MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia)," ujar anggota Komisi IX, Okky Asokawati, dalam pesan elektronik yang diterima Sorotnews.com, Jumat (18/1/2013).
Selama ini, menurut politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu, memang yang terasa adalah adanya usaha dari para dokter untuk menutup tutupi kesalahan rekan sesama dokter. Bahkan ketika MKDKI melakukan sidang untuk meminta pertanggung jawaban dari seorang dokter sidang tersebut bersifat tertutup. Conspiracy of Silence dari para dokter tersebut membuat masyarakat seolah olah mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya dugaan malpraktek. Sampai saat ini pun, belum pernah ada dokter yang mendapat sanksi pidana terkait hal itu.
Di lain sisi masyarakat sendiri dinilai masih belum menyadari secara utuh bahwa mereka memiliki hak untuk mengajukan ketidak puasan atau bahkan melaporkan adanya dugaan malpraktek pada suatu pusat pelayanan kesehatan. Masalah yang dihadapi oleh para pasien itu apakah masalah hukum, etika kedokteran atau disiplin kedokteran, merekapun tidak faham tentang hal itu. Dan kemana mereka harus melapor juga tidak disosialisasikan dengan baik oleh pemerintah (Kemenkes, IDI atau KKI).
"Saya yakin banyak kasus-kasus malpraktik yang tidak disuarakan karena keluarga pasien menerima begitu saja dan pasrah dengan nasib yang menimpa. Masyarakat perlu diberi kesadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya," jelas Okky.
Untuk itu, Okky mendesak kepada pemerintah khususnya Direktorat Bina Upaya Kesehatan pada Kemenkes serta IDI agar melakukan sosialisasi advokasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai mekanisme pelaporan bila terjadi hal-hal yang dirasakan tidak semestinya.
"Ini sangat penting agar kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di Republik ini tetap terjaga baik. Apalagi BPJS Kesehatan akan segera beroperasi pada 1 Januari 2014," kata Okky.
Hanya saja, sampai saat ini pun ketersediaan fasilitas untuk melaporkan komplain pasien juga bagi Okky sangat tidak maskimal. "Setidaknya saat saya melakukan reses beberapa waktu lalu ke RSCM, lokasi tempat dimana pasien bisa melaporkan keluhannya (complaint mechanism) itupun jauh di belakang di pojok yang kumuh dan tidak ada tanda-tanda yang mengarahkan menuju ke tempat tersebut," tutup Okky. (Eka Apriyanti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar